Monolog

See You When I See You, Sorabel

Aku negatif COVID, tapi dadaku benar-benar sesak. Frustasi. Sayangnya aku terlalu kuat dan tak cukup alasan untuk menangis, apalagi bunuh diri. Semua sudah terjadi dan tidak ada yang bisa dilakukan selain bergerak menuju tempat yang baru. Aku sedikit melankolis sejak dini hari. Rasanya jariku bergerak sendiri menulis kata-kata ini. Hebat, hampir separagraf dan belum ada yang diedit sama sekali. Tahun 2020 sudah berakhir dan aku ingin meninggalkan semua kemarahanku yang tidak pada tempatnya. Jadi untuk terakhir kalinya, aku ingin menulis ucapan selamat tinggal pada salah satu bagian hidupku yang berharga.

***

Ternyata sudah berjarak lebih dari 8 bulan sejak masa-masa paling malang di flow cash rekeningku tahun lalu. Selama jangka waktu itu aku marah, kesal, kecewa, mencari-cari cara untuk balas dendam tapi entah dendam pada siapa. Aku belajar lebih keras dari biasanya, aku mencari tahu hal baru sebisanya, aku melupakan hal-hal memuakkan tentang tempat itu semampunya. Aku baca buku-buku teknis membosankan yang dulu tidak sekalipun terpikir bahwa buku yang sedemikian itu ternyata ada. Lalu di setiap akhir babnya otakku merekonstruksi: seandainya saja dulu begini dan begini, seandainya saja sejak awal melakukan ini dan ini, seandainya aku belajar lebih awal, seandainya aku bisa membantu lebih banyak dari ini, bagaimana jika dulu kita lebih sigap bersiap untuk kondisi ini?

Pada akhirnya, hal yang bisa aku akui adalah bahwa kemarahanku bersumber dari ekspektasi yang terlalu tinggi.  11 Juni 2016: aku datang ke kantor Sale Stock di sudut perempatan yang ramai itu dengan 1 tujuan, aku hanya butuh mengumpulkan uang 3 juta selama 3 bulan untuk tes IELTS, lalu berhenti. Fresh graduate, aku kira bekerja adalah hal yang menyeramkan. Aku mau sekolah lagi saja. Aku masuk ke kantor startup paling bonafide di Jogja tanpa tahu apa itu startup. Tanpa tahu seberapa kerennya kantorku waktu itu. Tapi seandainya saat itu aku bertemu orang-orang jahat yang membuatku tidak betah, seandainya aku konsisten dengan tujuan awalku, seandainya aku pergi setelah 3 bulan–alih alih terjebak zona nyaman hingga lebih dari 3 tahun. Seandainya seperti itu, akan seberapa buruk 2020-ku jadinya?

Kenyataannya, perusahaan itu merubah semua, mulai dari gaya hidup hingga cara berfikirku. Tak sampai 1 tahun dan rasanya aku sudah punya keluarga di Jogja, 60% hidupku berputar di sekitar mereka. Tak ada label yang bisa disematkan pada setiap mereka, selain bahwa aku beruntung telah mengenal setiap individunya.
Aku tak lagi jadi budak ambish ala lulusan cumlaude yang cita-citanya mentok jadi dosen lewat gratisan LPDP. Hidupku mengalir, lebih tenang, lebih bisa dinikmati, lebih bisa menerima bahwa pilihan hidup tidak hanya ada di 1 pintu. Ada banyak pintu dan semuanya layak untuk dicoba.
Yang paling penting: karena seumur hidup tinggal di lingkungan konservatif, sepertinya kantor ini juga tempat pertama aku bisa misuh dengan bahagia.

Tahun kedua, perusahaan ini memberiku hal yang lebih berharga dari pada uang: waktu. Aku mendapatkan beasiswa S2-ku saat sudah memutuskan untuk menyerah. Aku mempertimbangkan apakah aku harus resign atau bertahan pada gelembung bahagiaku di kantor. Tim-ku memahami ini dan memberiku support, fleksibilitas yang tidak pernah aku bayangkan bisa aku dapatkan. Iya, tidak pernah ada bayangan bahwa aku bisa melanjutkan S2 sambil bekerja. Badanku jungkir balik, kesehatanku juga turun naik. Tapi sejujurnya, itu adalah masa-masa paling bahagia. Aku berada di titik paling bahagia dalam hidupku. Aku bisa belajar hal yang aku suka di siang hari dan bercanda serta memaki bersama saat malam hari. Mungkin, harusnya aku berdoa agar itu abadi. 

Detik ini, aku bahkan masih ingat nama pelanggan pukul dua dini hari yang mengeluhkan masalah rumah tangganya. Tentang suaminya yang selingkuh dan minta dihibur dengan diskonan promo belanja.
Seharusnya kita tidak buka toko baju. Seharusnya kita buka layanan curhat terpadu.

Tahun ketiga aku mendapatkan seseorang yang berharga dan masih bersamaku sampai Januari ini tiba. Iya. Apapun yang anda pikirkan saat ini, adalah benar.

Menuju akhir tahun keempat segalanya memang menjadi lebih berat, dengan-sangat-extra-cepat. Tapi untuk 4 tahun kita yang berharga, aku minta maaf, Sorabel. Walaupun kamu menyebalkan karena belum transfer THR-ku, tapi aku juga bersalah padamu. Maaf untuk kemarahan yang tidak seharusnya aku pendam selama dua quartal akhir 2020 lalu. This pandemic has hit us really hard, but all I’m doing is blaming you.
My bad.

Terima kasih sudah membantuku selama 4 tahun itu, menjadi pintu gerbang yang baik dan memperkenalkanku dengan dunia kerja yang menyenangkan. Namamu masih ada, tapi kita tahu rasanya tak lagi sama. Maybe, I will see you when I see you. Jadi, terima kasih sudah memberikan kenyamanan yang mungkin tidak akan mudah ditemukan di kantor lain. Sejarah rumah ini sudah berakhir Agustus lalu dan seharusnya sudah sejak itu pula aku mengikhlaskan kemalangan kita. Semoga seluruh penghuni rumah kita dulu menemukan bahagianya dimanapun mereka berada. Semoga kamu juga menemukan rumah baru yang lebih baik lagi.
Farewell, Sorabel.

Thank you for everything. I love you. 

Sincerely,

AV

 

Leave a Reply