Ramadan #1
Mbak Janah ki uripe penak tenan ya mbak ya? Iri tenan aku” Kata Hesti suatu malam, dalam panggilan video group paling tidak jelas yang kuladeni semasa WFH ini.
Mbak Janah ki uripe penak tenan ya mbak ya? Iri tenan aku” Kata Hesti suatu malam, dalam panggilan video group paling tidak jelas yang kuladeni semasa WFH ini.
Judulnya harusnya berbahasa Indonesia karena konten tulisannya juga ditulis dalam bahasa. Tapi sampai akhir tidak ketemu juga frasa bahasa yang tepat untuk mewakili apa yang mau kutulis. Jadi yasudah. Lagipula ini tulisan curhat yang numpang lewat.
Tulisan ini harusnya dirilis tanggal dua puluh tujuh Januari Mulai kutulis pagi-pagi pukul tiga dini hari. Tapi ia tak selesai, tersingkir oleh notifikasi deadline lain yang secara otomatis jadi alarm darurat di otak. Maklum yaa, aku juga kadang mempertanyakan apakah jalan hidup ini yang paling baik, karena lebih sering justru membuatku menyingkirkan hal-hal lain yang lebih penting. Sepenting hari ulang tahunmu, misalnya.
Bharatayuda atau Mahabharata bukan legenda, melainkan sebuah karya literasi. Pengarangnya Resi Vyasa atau Begawan Byasa. Konon, Begawan Byasa membutuhkan seseorang yang mampu menulis dengan cepat, secepat plot cerita muncul di otaknya dan secepat rangkaian kata-kata keluar dari bibirnya. Tapi tidak satu manusia pun mampu mengimbangi kecepatan pikiran manusia lain. Maka Begawan Byasa meminta pertolongan Dewa Ganesha. Kesepakatannya, Ganesha akan menulis kisah ini dengan didikte oleh Begawan Byasa, tanpa berhenti sama sekali. Maka dimulailah penulisan kisah…
Prolog. Sejak lima bulan lalu ada yang tidak beres dengan lambungku. Aku tidak bisa makan nasi dalam porsi besar lagi. Oh No! porsi ‘normal’ pun tidak. Cepat kenyang. Lambungku bisa menampung lebih jika dipaksa, tapi berujung masalah akhirnya. Dokter bilang cuma perkara metabolisme saja, lambungku tidak bisa lagi menyerap karbohidrat dengan baik. Efek begah dan mual muncul, walau tidak sampai muntah. Tapi tubuhku masih butuh. Jadi aku harus makan sedikit-sedikit dan sering. Sejak itu porsi…
Once after a lunch session on a visit to a local monastery, Mr. Vanderbilt said something that strengthened my sense of happiness. “Maybe in the next twenty years, I will see you in the ranks of leaders in Indonesia”, He said. I am happy, even now.
Sumur dengan pusaran air kotor. Ia siap menenggelamkanmu jika kamu takluk diantara arusnya. Aku baru saja mengatur filter pertemanan di media sosial yang aku punya. Menyingkirkan segala pembahasan tentang politik yang menjurus ke arah anarki. Ternyata ini melelahkan karena mayoritas teman-teman dunia mayaku adalah simpatisan kubu nomor 1 dan nomor 2. Aku tidak suka politik, tapi ada beban moral sebagai warga negara untuk setidaknya paham tentang perkara yang satu ini.
Namanya Soekasbi. Sulung lima bersaudara.
Tabu bagi sebagian orang adalah jika berurusan dengan rokok, seks dan narkoba. Sementara tabu bagiku adalah membawa pekerjaan ke rumah. Rumah yang aku maksud adalah rumah orang tuaku. Aku mulai keluar dari rumah sejak S1, sejak mulai kos karena kebutuhan kuliah. Sejak itu pula, pantang bagiku untuk pulang selama masih banyak tanggungan tugas kuliah. Hal ini berlaku sampai sekarang dan untuk jenis tugas/pekerjaan apapun. Karena percuma juga, malah mengganggu saja.
Manusia Indonesia setidaknya punya dua bahasa yang dikuasai seiring dengan tumbuh kembangnya: bahasa ibu dan bahasa nasional. Untuk kasusku, aku punya bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Malam ini sedikit melankolis dan ingatanku kembali ke kelas 3 SMA. Masa itu adalah masa dimana seseorang akhirnya berkata padaku, betapa aku sesungguhnya mampu menguasai bahasa apapun jika aku mau.