Monolog

Mati enak kali, ya?

IYA.

Setelah hidup seperempat abad lebih semua manusia kelas menengah kebawah rasanya bakal punya pemikiran yang sama: mungkin lebih baik mati. Kalau menengah keatas mungkin mikir matinya nanti, kalau hutangnya sudah diatas 9 digit atau ada kondisi mental illness atau apalah. Mati dan gak mikir apa-apa lagi. Indah banget pikiran seperti itu kalau gak dihancurin sama doktrin agama yang namanya surga neraka. Kalau sudah begini, lahir di antartika tanpa tahu agama dan kawan-kawannya bisa jadi pilihan hidup yang paling mudah. Karena misal kamu tidak tahu apa-apa, ya kamu tidak berdosa. Jadi kebodohan dan ketidaktahuan terhadap agama itu sebenarnya previlege.

Tapi anggaplah individu bernyawa ini gak punya agama, hanya dengar rumor tentang apa-apa setelah kematian dari kelompok beragama. Probabilitasnya 50:50 kalau memilih mati. Jadi antara mati moksa sirna hilang betulan dari segala masalah di dunia, atau mati lalu lahir kembali macam restart main game, atau benar-benar mati ketemu siksa kubur dan kawan-kawannya.
Gambling.

Kalau memilih tetap hidup, gambling juga. Antara stagnan gitu-gitu aja, dapat jackpot entah itu karir penghasilan atau keluarga yang oke, atau triple zonk dengan jadi sampah masyarakat, pengangguran, dan bahan gibahan tetangga. Combo zonk kalau terlilit hutang bank plecit dengan bunga 20% per bulan.

Sama-sama berjudi dengan masa depan, pilih hidup atau mati, yang manapun oke dong harusnya? Enggak juga. Dibandingkan kematian, melanjutkan hidup itu probabilitasnya lebih bisa diperhitungkan dan hasil akhirnya masih bisa diusahakan. Kalau gak mau jadi pengangguran ya jangan gengsi ambil tawaran kerja, kalau mau karir oke ya attitude diperbaiki, kalau mau gaji tinggi ya skill-nya ditambah. Kalau gak mau terlilit hutang ya jangan coba-coba download aplikasi pinjaman online di HP.

Yang susah hanya di bagian kalau gak mau jadi sampah masyarakat dan gibahan tetangga, karena semua manusia pada dasarnya punya sifat sampah. Jadi yang ngejudge orang lain adalah sampah, aslinya sampah juga. Gak ada yang suci di dunia. Jadi mari hidup dan memenuhi dunia dengan menyampah bersama.

7 thoughts on “Mati enak kali, ya?”

  1. Saya jadi ingat wawancara dengan Otong, vokalis Band Koil. Dia sudah dua kali mengalami mati suri, tapi berhasil hidup lagi. Alih-alih bersyukur, dia malah mikir, “Lah? Koq hidup lagi sih?”

    Itu gara-gara dia memang sudah merasa tidak punya semangat untuk hidup, tidak ada capaian lagi, tidak ada yang harus dikejar lagi dan bahkan tidak tahu lagi harus ngapain kalau hidup.

    Terkadang memang ada masa ketika kita merasa, “Untuk apa hidup?”
    Kadang sayapun merasa seperti itu..

    1. Saya pernah lewat fase itu. Gak tahu ya kalau di masa depan muncul rasa segan hidup lagi. Tulisan ini saya buat karena adik saya tiba-tiba kirim pesan WA tengah malam “mbak, mati enak kali ya?”.
      Gak ada angin gak ada hujan, begitu baca itu rasanya jantung ikutan copot.

      Akhir cerita, dia bilang hidup ini mungkin konsekuensi karena dulu sebelum lahir, pas Tuhan tanya “Kamu yakin mau lanjut hidup?” kita asal jawab iya-iya aja gak lihat syarat dan ketentuan. Asal accept trus install. Begini jadinya.

Leave a Reply