Monolog

Silent Rage

Judulnya harusnya berbahasa Indonesia karena konten tulisannya juga ditulis dalam bahasa. Tapi sampai akhir tidak ketemu juga frasa bahasa yang tepat untuk mewakili apa yang mau kutulis. Jadi yasudah. Lagipula ini tulisan curhat yang numpang lewat.

Beberapa hari lalu aku baru selesai nonton drama SKYCastle. Iya, drama korea yang ratingnya disebut tertinggi awal tahun ini, tentang komunitas keluarga kaya yang berjuang memasukkan anak-anak mereka ke Fakultas Kedokteran Seoul National University. Plot cerita berputar disekitar Han Seo Jin. Ibu dua anak, istri dokter spesialis orthopedi, yang menggunakan segala cara, uang, kekuasaan dan koneksi hanya supaya anaknya bisa masuk Fakultas Kedokteran. Pemeran utama setengah jahat yang tiap kali dia berulah, ingin rasanya ikutan menghujat dengan kesialan.

Sayangnya dia benar-benar sial. Dari dua puluh episode, ada satu adegan yang buat aku menangis gara-gara dia. Ketika Han Seo Jin menemukan fakta bahwa tutor sekaligus rival studi anak-anaknya yang ia izinkan tinggal satu atap di rumahnya, ternyata adalah anak kandung suaminya dengan wanita sebelum ia. Di tengah malam Han Seo Jin setengah berlari, ingin mendobrak kamar, menarik kerah, menjambak bahkan membunuh anak malang itu.. tapi ia berhenti tepat di depan pintu. Diam membatu, tak jadi menarik kerah, tak jadi menjambak, tak sanggup membunuh.

Berbalik, ia malah berlari ke ruang tamu, menghadap jendela, bersiap untuk teriak.
Ia berteriak sekuat tenaga,, tapi tanpa suara.
Ia berteriak dalam diam. Diantara tarikan nafas yang tersengal menahan amarah.
Ia jatuh berlutut lalu mulai mencakar kursi kayu dengan kukunya, terus menangis menahan sakit,
sekali lagi: dalam diam.

***

Suatu hari ada hal yang buat aku marah sekali sampai berteriak dan lari ke dapur, mengambil gelas kaca lalu membantingnya kuat-kuat sampai pecah berantakan.  Mamak dan Bapak marah, tentu saja, tapi aku lega luar biasa. Aku benar-benar lupa kapan dan hal apa yang buat aku mengamuk, tapi yang kupelajari hari itu adalah bahwa aku membutuhkannya untuk bertahan dan keluar dari perasaan tidak nyaman tiap kali marah atau sakit hati.

Tapi itu tidak bisa selalu dilakukan. Pertama karena barang pecah belah itu mahal, kedua karena aku selalu hidup di lingkungan yang kolektif: rumah keluarga, kampung, kos-kosan, komplek perumahan, kampus, kantor dan semacamnya. Aku tidak bisa teriak sesukanya, tidak bisa menangis keras atau membanting gelas tanpa menarik rasa ingin tahu orang lain. Dominasi logikaku juga mengingatkan bahwa kekerasan dan amukan emosi bukan ekspresi dari orang beradab, bukan bagian yang diajarkan pada orang berpendidikan, bukan hal yang berpengaruh positif untuk nama baik keluarga dan diri sendiri.

Perlahan aku mulai menahan diri. Mulai kehilangan suara untuk meneriaki rasa benci. Mulai kehilangan tempat untuk menangis di depan orang lain, alih-alih peduli, sebagian besar justru tampil dengan tatapan mengasihani. Aku tidak suka sama sekali. Jadi aku mulai menutup pintu jendela dan berteriak tanpa suara, bergulung didalam selimut lalu menangis sepuasnya, dalam diam. Untuk perkara ini, adegan dimana Han Seo Jin mengamuk dalam diam seperti cermin buat aku sendiri. Aku jatuh simpati.

Semakin dewasa, semakin sulit untuk mengungkapkan emosi. Tapi pada satu titik dimana kita beranjak tua, semakin sadar juga bahwa rasa sakit dan marah bukan hal yang bisa selamanya ditahan atau dihindari. Akhirnya aku rasa aku harus jadi orang kaya. Setidaknya cukup kaya untuk membuat rumah dengan sebuah ruangan untuk diriku sendiri. Ruangan yang dilapisi peredam suara, tumpukan selimut dan bantal di salah satu sudut supaya aku bisa berteriak atau menangis meraung sepuasnya. Sementara disudut lainnya akan ku isi dengan karung samsak atau tumpukan gelas kaca yang bisa kubanting saat amarah tak bisa diredam lagi.

Leave a Reply