Tulisan ini harusnya dirilis tanggal dua puluh tujuh Januari
Mulai kutulis pagi-pagi pukul tiga dini hari. Tapi ia tak selesai, tersingkir oleh notifikasi deadline lain yang secara otomatis jadi alarm darurat di otak. Maklum yaa, aku juga kadang mempertanyakan apakah jalan hidup ini yang paling baik, karena lebih sering justru membuatku menyingkirkan hal-hal lain yang lebih penting. Sepenting hari ulang tahunmu, misalnya.
Suatu ketika kamu pernah meminta, supaya aku menulis tentangmu disini. Jadi biar kukabulkan kali ini, bukan sekedar tentangmu, tapi juga tentang sebuah pengakuan dosa.
Kalau kamu ingat hari pertama kita kenal, sore-sore mendung di selter selatan gedung. Aku ingat, karena hari itu kamu pakai pakaian serba hitam sampai kaos kaki dan sepatunya pun hitam. Rambut ikal berantakan dengan gaya maskulin-bodo-amat-gak-mau-tau andalanmu. Firasatku tak enak, “Ini anak kayaknya belum jinak”, batinku. Kamu berniat mendaftar lembaga pers kita waktu itu. Dengan sok kuasa aku bilang ke kamu bahwa pendaftaran sudah jatuh tempo, dan kamu terlambat. Jadi dengan mendramatisir keadaan aku sampaikan bahwa aku akan menerima kamu dengan syarat kamu harus berkomitmen dan loyal pada persma. Kamu ingat?
Itu adalah dosa pertama. Dua tahun kemudian kamu mewarisi jabatanku waktu itu, kamu tentu tahu, persma kita sebenarnya krisis sumber daya manusia. Ada yang daftar saja sudah syukur. Bahkan jika kamu mendaftar lewat berbulan-bulan setelah jatuh tempo pun, kamu akan tetap diterima. Jadi, menit-menit aku menunggu jawabanmu sebenarnya adalah menit paling krusial. Aku ketakutan kalau-kalau kamu menolak syarat itu dan tidak jadi daftar, tapi tetap pasang muka songong ala pegawai HRD. Selain kamu, ada tiga orang lain yang terlambat mendaftar kala itu, tiga orang yang aku perlakukan sama denganmu. Alasan mengapa aku melakukan itu sangat sederhana: supaya komitmen tertanam sejak awal di benak kalian. Bahwa kalian sudah berjanji didepanku dan dengan demikian, kalian akan merasa bersalah jika ingkar. Ini satu usaha yang bisa aku lakukan untuk memastikan bahwa bibit yang aku rawat tidak akan gugur di tengah jalan. Hasilnya, 4 orang yang terlambat mendaftar tahun itu adalah bibit yang tumbuh kuat dan bertahan sampai akhir.
Ini pengakuan dosa pertama, maaf sudah membohongimu meski setengah bangga juga karena eksperimenku berhasil.
***
Kamu jadi staf bidang Perusahaan akhirnya. Aku setengah bersyukur karena tidak harus mengurus anak yang belum jinak tadi. Meskipun akhirnya aku kalah juga. Cecilia adalah nama yang bikin pusing jajaran middle leader bidang perusahaan di quartal awal kepengurusan. Aku setuju dengan mereka. Di mataku kamu berbakat, potensial, tapi keras kepala. Karena itu ketika para kepala di bidangmu sudah tidak sanggup menangani kamu yang kritis, didoronglah aku untuk maju. Ini dosa kedua: awal aku mendekatimu adalah hanya karena tugas dari biro pengkaderan, memastikan kamu tetap diposisimu dan tidak keluar dari persma. Tapi tentu saja aku tahu, mereka menyuruhku bukan semata-mata karena itu tugasku. Mereka sedang bertaruh, bahwa yang bisa menjinakkan batu hanya batu yang lebih besar. Mereka sedang menguji, mana yang lebih keras, kamu atau aku. Di titik itu, aku rasa kita sebenarnya tidak jauh berbeda.
Aku kerepotan mendekatimu. Karena kamu tahu, aku tidak betah lama-lama pasang senyum palsu. Aku mendekat dan kamu menepi, begitu terus sampai entah berapa kali. Hingga akhirnya aku menemukan akun tumblr-mu, tulisan-tulisanmu. Tidak ada yang istimewa, kecuali tentang betapa dua puluh tujuh adalah tanggal yang dilematis untuk kamu. Di tanggal itu kamu dilahirkan, di tanggal itu pula belahan jiwamu pergi. Aku membaca tulisanmu seperti menonton film dokumenter, rangkuman kisah hidup dan perasaanmu. Tentang kamu yang berlama-lama menatap komplek pemakaman setiap pulang sekolah, tempat belahan jiwamu–Ayahmu berpulang. Tentang kamu yang mengayuh sepeda di minggu pagi, berusaha menikmati kota tempat kamu berjuang sendiri. Aku membaca dan melihat rekaman fiktif yang berputar diotakku, tentang kamu dan segala yang sudah kamu lewati.
Aku retak, bukan karena iba. Aku retak karena aku mengaku kalah, pertaruhan itu salah. Aku hanya batu biasa, bukan berlian yang sudah terasah.
Ini pengakuan dosa kedua.
***
Aku mulai mendekat, dan responmu cukup bersahabat. Bisa membedakan mana yang pura-pura dan mana yang tulus, sepertinya kamu memang berbakat. Sejak itu dan sampai nanti, aku tak bermaksud mencuri posisi kakak yang memang sudah terisi. Aku masih sama, masih jadi sandaran kalau kamu kesepian dan butuh dikuatkan. Jika kartu keluarga bisa dimodifikasi sesuka hati, aku berencana memasukkan kamu ke daftar saudara. Kamu sepaket dengan Hesti, pura-puranya kalian saudara kembar dengan sistem metabolisme tubuh yang berbeda–atau kembar hasil eksperimen yang dibesarkan dengan asupan gizi yang berbeda. Kalian nomor dua setelah Janah, karena secara tidak resmi ia sudah jadi anak sulung di keluarga kami. Atau mungkin nomor tiga karena ibuku sepertinya berencana mengadopsi Doni yang berhasil mencuri start dengan memuji masakannya.
Tulisan ini sudah terlalu lambat untuk jadi ucapan ulang tahun. Tapi doa di dalamnya tidak akan berubah makna. Selamat bertambah dewasa, Cecilia. Semoga berbahagia dan tetap jadi adik maskulin yang kharismatik–tentu, kamu bisa memutuskan untuk jadi feminim kapan saja. Tapi tetap kharismatik. Jangan berhenti bergerak, kamu selalu layak berdiri di depan dan memperbaiki keadaan. Setiap sakit semoga segera diganti dengan kekuatan, setiap lelah semoga ditukar dengan kebahagiaan. Semoga dimudahkan selalu dan diterangkan jalan untuk setiap cita-citamu.
Kalau ada apa-apa, masih simpan nomorku kan?