“Tujuan seni adalah untuk mewakili. Bukan penampilan yang tampak di luar, tapi lebih pada signifikansi batin mereka.” -Aristoteles
Sabtu malam (14/12) di Balai Sudjatmoko, aktifitas tetap berlangsung meski hujan mengguyur Kota Solo sejak sore hari itu. Sebuah pementasan wayang kulit sederhana akan di gelar di tempat tersebut. Namun, ada yang tak biasa dengan pementasan wayang kulit yang berlangsung di bulan terakhir tahun 2013 itu. Rupa wayang kulit tak seperti umumnya wayang purwa. Wujud dan bentuknya sama sekali tak biasa. Yang tampak adalah gambaran wayang 2 dimensi dengan rupa tubuh dan wajah menyerupai manusia sesungguhnya. Nama tokoh-tokohnya tak berasal dari kisah Ramayana maupun Mahabarata. Lakon yang dipentaskan pun sungguh asing dibaca: ‘Ha-Na-Caraka Nabi Elia’. Rupanya, inilah salah satu jenis wayang kulit kontemporer, Wayang Wahyu.
Diawal era 1960an, Brueder Timotius L. Wignyosoebroto, FIC, menggagas terciptanya karya seni ini. Sebuah pertunjukan seni yang menjadi media syiar dan penyebar pesan-pesan agama Katolik. Selanjutnya, wayang ini disebut Wayang Wahyu. Konsepnya hampir sama dengan usaha Sunan Kalijaga berabad-abad yang lalu. Blasius Subono, salah satu dalang wayang wahyu mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga tersebut bukan sekadar syiar agama, namun juga syiar budaya. Sebab tidak hanya di dalam lingkup agama Islam saja yang memanfaatkan karya-karyanya. Selain mengembangkan lakon-lakon dalam pementasan, Sunan Kalijaga juga mengembangkan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Sementaraperkembangan wayang wahyu tak sepesat wayang kulit yang dahulu digubah oleh Sunan Kalijaga sebagai media syiar islam.
Hal ini dapat dipahami mengingat intensitas pementasan wayang wahyu yang minim, serta adanya perbedaan mendasar antara wayang wahyu dengan wayang kulit purwa. Menurut Blasius Subono, perbedaan wayang wahyu dibanding jenis wayang lainnya terletak pada bentuk wayang dan cerita yang diangkat dalam pementasannya. “Kalau wayang wahyu, bentuknya itu dekat dengan figur orang, sedangkan wayang purwa itu abstrak”. Sementara dari segi cerita, Wayang wahyu mengangkat cerita dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang berasal dari Alkitab.
Dirunut dari sejarahnya, pementasan pewartaan misi katolik sama dengan wayang purwa. “Bahkan, pada mulanya syiar agama katolik memang menggunakan wayang purwa”, ungkap Blasius. Berawal dari seorang Bruder FIC yaitu Bruder Timotheus L. Wignyosoebroto, FIC. Beliau menyaksikan pementasan wayang kulit pada tanggal tahun 1957 yang dilakonkan oleh dalang M.M Atmowiyono (Guru SGB Negeri II Surakarta). Lakonnya adalah ”Dawud mendapat Wahyu Kraton” yang diambil dari sebuah kisah di Kitab Suci Perjanjian Lama. Dikisahkan bagaimana nabi Daud yang bertubuh kecil, berperang mengalahkan seseorang yang bertubuh raksasa. Di eropa, masyarakat mengenal kisah ini dengan judul ‘David vs Goliath’. Sementara dalam pementasan wayang kulit Dalang Atmowiyono saat itu, tokoh Dawud (aka Nabi Daud aka David) diperankan oleh wayang Bambang Wijanarko. Sementara tokoh Goliath, diperankan oleh wayang Kumbokarno.
Dari sini kemudian Brueder Timotius menggagas sebuah pementasan wayang kulit baru yang tepat untuk mementaskan kisah-kisah yang diangkat dari kitab perjanjian lama dan baru. Akhirnya dibuatlah wayang wahyu. Menurut Blasius Subono, pembuatan rupa wayang didasarkan pada komik-komik terdahulu. Komik-komik yang memuat berita-berita tentang perjanjian lama dan perjanjian baru. Di komik-komik tersebut ada tokoh-tokohnya, seperti Yesus. “Nah, terinspirasi dari gambar-gambar itu, lalu dibuat wayang”.
Meski dengan rupa yang baru, tapi cerita yang diangkat ada pengaruh dari wayang kulit karena pada umumya dalang-dalang wayang wahyu juga memiliki basic wayang kulit. Antara dalang satu dengan dalang lainnya akan berbeda dalam mementaskannya, sangat tergantung dari latar belakangnya. “Karena basicnya dari wayang kulit, jadi untuk struktur, adeg-adeg, dan pathet dalam gendhingnya sama dengan wayang purwa”, imbuh Blasius. Dasar-dasar wayang kulit yang ada di jawa digunakan dalam pementasan. Namun, ada juga yang dikembangkan seperti gendhing-gendhingnya, dibuat gendhing-gendhing gereja dengan sulukan yang sama.
Wayang wahyu berusaha menyampaikan pesan dari Alkitab dalam setiap lakon yang dimainkan. Tujuan utamanya adalah supaya umat bisa paham, sebagaimana diungkapkan oleh Br. Ignasius Dalimin, salah satu koordinator pentas Wayang wahyu, “Intinya bahwa semua ciptaan harus menghormati ciptaan lainnya, tidak menyia-nyiakan semua ciptaan yang ada di bumi ini dan dipelihara, dicintai, bukan untuk dirusak. Bahwa sesama manusia itu harus saling mencintai, menghargai, menghormati dan menjaga”. Sementara menurut Blasius Subono, bagaimana mewujudkan misi Katolik dalam sebuah karya seni, merupakan keistimewaan dari wayang wahyu. Menurutnya, nilai-nilai kesenian yang wigati, nilai-nilai kekaryaan, sama dengan nilai-nilai rohani yang berupa renungan. “Yang utama, menggarap ini dengan serius sebagai karya seni”.
Untuk tahap awal fokus wayang wahyu adalah agar dapat disenangi oleh kalangan umat Katolik dahulu. Karena di kalangan umat Katolik sendiri, menurut Blasius Subono, ada pula yang belum mengenal wayang wahyu. Jika memang memungkinkan, tentu akan sangat berarti apabila khalayak umum juga berkenan dan turut menikmati pentas wayang wahyu.
***
“Dalam perkembangannya, ada orang-orang yang tidak sependapat dengan keberadaan wayang wahyu karena ceritanya tentang Nasrani”, ungkap Blasius Subono ketika ditanya mengenai reaksi masyarakat terhadap wayang wahyu. Meski demikian, hal tersebut bukan sesuatu yang bersifat ekstrim, melainkan hanya opini-opini pribadi dari beberapa anggota masyarakat saja. Sementara menurut Yohannes Suharyono dan Ignasius Dalimin, karena banyak masyarakat umum yang belum mengenal wayang wahyu, maka masyarakat juga belum memberikan respon yang signifikan, baik itu respon positif maupun negatif. Sehingga yang menjadi fokus utama dari para pengelola wayang wahyu adalah bagaimana melestarikan kesenian yang telah dirintis selama kurang lebih setengah abad ini.
Perkembangannya kini, mulai ada usaha-usaha baru selain pementasan rutin untuk melestarikan wayang wahyu. Wayang wahyu juga mulai digarap menggunakan bahasa Indonesia. “Konsepnya dengan narator, sedangkan dalang hanya menggerakkan wayangnya”, ujar Blasius. Selain itu menurut Blasius Subono, di ISI, jurusan pedalangan saat ini bekerjasama dengan dewan ekskul di salah satu sekolah internasional di Salatiga. Keduanya bekerjasama membuat wayang wahyu dengan layar lebar yang biasa disebut ‘wayang sandosa’. Teknisnya dengan layarnya yang lebar, dalangnya sekitar 5-10 orang. Berbeda dengan pagelaran wayang purwa yang saat ini konsep panggungnya penonton bisa menikmati pagelaran dari balik punggung dalang. Pada wayang sandosa yang ditonton hanya bayangannya saja. Proyek ini rencananya akan dibawa ke luar negeri dan ini masih dalam proses lobi.
Dalam pergelaran wayang wahyu di wilayah Surakarta sendiri, selama ini selalu dibentuk tim, terutama untuk menyusun naskah. Setiap saat dibicarakan, disesuaikan dengan nilai-nilai yang diharapkan. Dan yang utama, menarik atau tidak. Sebelumnya, karena wayang wahyu berada di bawah yayasan pangudi luhur, orang-orang yang terlibat juga orang-orang pangudi luhur. Sementara saat ini pementasan wayang wahyu dikelola oleh tim yang mulai melibatkan orang-orang luar. Lalu bagaimana dengan dalang? Saat ditanya adakah ritual khusus yang dilakukan dalang wayang wahyu sebelum pentas, Subono hanya tersenyum dan menjawab, “Tidak ada ritual khusus yang dilakukan dalang untuk pementasan wayang. Hanya upaya untuk mencari keheningan.”
***
Kebruderan FIC, Jl. Soegijapranoto no.5, terletak tepat disamping SMP Kanisius Surakarta. Bangunan klasik peninggalan belanda ini memang tak tampak jelas dari jalan raya. Pasalnya, didepan bangunan banyak pedagang kaki lima menggelar lapaknya. Masuk ke halaman parkir pun keadaannya cukup sepi. Tak banyak yang tahu bahwa bangunan ini sesungguhnya merupakan sebuah biara. Dari puluhan ruang yang ada didalamnya, salah satunya digunakan sebagai kantor sekretariat Yayasan Pangudi Luhur Surakarta. Yayasan ini merupakan kontributor sekaligus pengelola pengembangan dan pelestarian wayang wahyu.
Br. Timothius L. Wignyosubroto, sang penggagas wayang wahyu, dahulu berrtugas di salah satu sekolah dasar milik Yayasan Pangudi Luhur. Menurut Br. Yohannes Sudaryono, ketua Yayasan Pangudi Luhur Surakarta, yayasan ini berkontribusi sebagai agen sosialisasi, manajemen biaya, manajemen kerjasama dengan dinas kebudayaan dan pariwisata, serta kerjasama dengan instansi lain.Saat ini pementasan wayang wahyu secara rutin digelar untuk memperingati Natal maupun Paskah tiap tahun dengan siaran dari RRI.
Menurut Ignasius Dalimin, dahulu sempat berdiri yayasan pengelola wayang wahyu bernama Yayasan Wayang Wahyu Surakarta. Namun, karena terkendala lemahnya manajemen, maka pengelolaan wayang wahyu kembali pada Yayasan Pangudi Luhur. Saat ini, prosedur pemesanan pementasan wayang wahyu dapat dilakukan dengan menghubungi Br. Ignasius Dalimin, Yayasan Pangudi Luhur, maupun langsung ke dalang yang bersangkutan. Yohannes Suharyono juga mengungkapkan hal yang sama. Dalam sekali pentas kebutuhan yang harus ditanggung diantaranya untuk dana persiapan, latihan, konsumsi dan lain-lain. “Yang jelas, kami tidak mencari keuntungan dari pementasan wayang wahyu”, ujar Yohannes. Butuh biaya besar untuk sekali pentas, sementara sponsor masih terbatas dan selama ini banyak mengandalkan anggaran dari Yayasan Pangudi Luhur. Ignasius Dalimin menambahkan bahwa sampai sekarang Pemerintah kota surakarta juga belum begitu banyak campur tangan. “Mudah-mudahan yang kemarin itu, melalui pentas di Balai Soedjatmoko. Kami berharap lebih banyak masyarakat yang tahu tentang wayang wahyu”, ujar Dalimin. Hal serupa juga diungkapkan oleh Blasius Subono, “Kami melibatkan banyak orang saat pentas di Balai Soedjatmoko. Terutama tokoh-tokoh wartawan, budayawan dan masyarakat umum”. Melalui pentas-pentas yang melibatkan banyak kalangan semacam ini, besar harapan masyarakat umum mau mengenal dan peduli serta mengapresiasi keberadaan wayang wahyu.
***
(edisi revisi. Pernah dimuat di majalah MOTIVASI
edisi berapa lah lupa -_-)