Di masa awal kuliah, saya sempat bertanya pada dosen saya di kelas Sejarah Eropa. Beliau adalah pakar dalam kajian politik islam dan saat ini telah bergelar guru besar di bidang tersebut, Prof. Hermanu Joebagio. Mungkin itu sebabnya ketika mengajar Sejarah Eropa, ketimbang hanya memberi materi sejarah ‘mentah’ dari negara-negara Eropa, beliau lebih menitikberatkan pada analisis kritis terhadap sejarah politik dan ideologisnya. Ketika itu dosen tersebut secara random menyinggung masalah ideologi komunis Rusia. Tentu pertanyaan saya juga tak jauh dari keyword komunis ini.
Saya:
“Selama ini komunisme selalu disamakan dan diidentikkan dengan atheisme. Mengapa? Padahal menurut arti kata-nya, komunisme atau komunis berasal dari kata komunal atau kelompok. Komunisme yang berkembang di Rusia/Uni Soviet maupun China juga lebih sering membahas masalah kehidupan yang sosialis. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama maupun ketuhanan. Mengapa demikian?”
Dosen:
“Stigma.”
.
.
.
*lalu hening*
Ya. Pertanyaan saya yang panjang hanya di jawab dengan satu kata : Stigma.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa penentuan baik buruknya sesuatu di mata masyarakat ditentukan oleh baik buruknya citra yang melekat pada sesuatu tersebut.
“Misalnya saat pembangunan waduk Kedung Ombo. Apa waduk itu dibangun dengan ayem tentrem gotong-royong? Tidak. Kedung Ombo itu dulu perkampungan. Warganya disuruh pindah dan tanahnya dibeli hanya sekian perak per meter. Jelas warga protes. Karena di Kampung Kedung Ombo itu dulunya banyak tangkapan anggota PKI. Apa yang dilakukan pemerintah orde baru? Mereka membuat stigma: ‘Ah. Itu orang-orang tak punya Tuhan. Biarkan saja.’.. Dan jadilah itu. Warganya digusur tanpa perlawanan berarti, karena tak ada yang mau peduli dengan orang-orang tak berTuhan.”
“Itulah, kekuatan stigma.”—Demikian Pak Dosen menutup penjelasannya, ala Golden Ways.
***
Murid saya dari jaman internship menghubungi saya setelah sekian lama. Setelah sekilas basa-basi, ia pun bertanya, “Mbak, Komunis itu jahat banget yo mbak?”. Rupanya ia baru saja menonton film G30S/PKI. Sebuah film lawas yang konon dahulu jadi tontonan wajib bagi anak sekolah tiap hari kebangkitan pancasila. Untungnya generasi saya sudah tidak merasakan tradisi ini, karena ini bukan film yang pantas ditonton anak kecil. Rating dewasa. Saya bahkan baru tahu keberadaan film ini saat di bangku kuliah.
Anda tahu galaunya jadi guru sejarah?
Seringkali kami (atau saya sendiri mungkin) terpaksa mengajarkan materi yang tidak sesuai dengan pengetahuan—juga isi hati—kami. Belajar sejarah di bangku kuliah kami menemukan banyak bacaan, hasil penelitian yang untuk alasan kestabilan negara—dan ketentuan kurikulum—tidak dapat kami jabarkan pada para murid. Kadang yang kami ajarkan hanyalah rangkuman materi tanpa inti. Yang memaksa untuk dihafal, bukan dimengerti.
Teman saya pernah mengatakan bahwa dari masa kemasa ada satu karakteristik yang sama pada setiap penulisan sejarah. Yaitu bahwa sejarah selalu ditulis oleh para ‘pemenang’. Belanda tidak akan tercatat sebagai penjajah jika Soekarno gagal membacakan teks proklamasi. Soekarno tidak akan tercatat sebagai pelanggar UUD jika ia mampu menaklukkan Supersemar—sebuah perintah sakti yang justru jadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Sementara Soekarno mengukir sejarah kemerdekaan yang hanya terangkum dalam 2 bab buku pendamping sejarah kelas XII SMA, Soeharto sukses menanamkan gambaran sejarah mengerikan tentang PKI yang mengendap di memori masyarakat Indonesia hingga kini. Ketakutan akan komunisme itu masih ada. Pada materi pemberontakan PKI misalnya. Beberapa buku paket dan LKS masih menulis peristiwa di bulan September itu sebagai G 30 S/PKI. Padahal dengan banyaknya hasil penelitian dan kontroversi mengenai peristiwa ini—dimana PKI tak lagi diyakini sebagai dalang tunggal pemberontakan—maka para penulis materi ini, dianjurkan untuk menggunakan istilah G 30 S. Tanpa embel-embel ‘PKI’.
Di masa orde baru, tiap lawan politik pemerintah diberi stigma Komunis. Ini benar-benar stigma yang kuat. Kehidupan kampus diarahkan menjadi super akademis. Saat itu bahkan ada kebijakan Normalisasi Kegiatan Kampus—mahasiswa dilarang berkumpul (ingat arti komunal?). Karena saat berkumpul, mereka pasti berdiskusi, keluh-kesah, kritik, pemikiran-pemikiran yang diluar kendali itu pasti muncul. Dan ini bisa jadi ancaman untuk sebuah pemerintahan otoriter.
Istilah komunisme sebagai ancaman bangsa, bahaya laten, ‘api dalam sekam’ dan semacamnya masih dapat ditemui di buku-buku materi. Bahkan disekitar kita. Di beberapa sudut kota Solo, spanduk-spanduk anti-komunisme masih tegang terpasang. Salatiga, Oktober 2015, sebuah majalah yang ‘hanya’ terbitan Lembaga Pers Mahasiswa, dibredel. Meski demikian versi online-nya sempat beredar di dunia maya. Majalah Lentera yang bertajuk ‘Salatiga Kota Merah’ itu berisi wawancara narasumber terkait G30S dan artikel features. Tak ada analisis yang berlebih ataupun provokatif. Tulisan-tulisan tersebut justru mengedepankan sisi humanis dan informatif. Meski demikian majalah tersebut tetap ditarik dari peredaran dengan alasan memicu keresahan dan mengancam keamanan nasional.
Sungguh. Irasional.
***
Luka hati karena G 30 S bisa jadi masih membekas dalam memori bangsa ini. Tapi korban tak hanya jatuh dari satu pihak saja saat itu. Terlebih pihak manapun yang terlibat dalam peristiwa itu, kesemuanya masih satu bangsa: sama-sama orang Indonesia. Stigma komunis adalah atheis, sudah saatnya dihilangkan dari otak para pemuda. Hanya karena sebagian tokoh komunis adalah penganut atheis, bukan berarti seluruhnya juga atheis. Sama seperti hanya karena sebagian muslim melakukan kekerasan, bukan berarti seluruh umat islam pantas disebut beringasan. Seperti Pernyataan Tan Malaka: “Dihadapan sesama manusia saya adalah Komunis. Tapi dihadapan Allah SWT, saya tetap seorang muslim”.
Selanjutnya, mengenai stigma ‘bahaya laten komunis’. Komunisme dianggap sebagai sebuah ancaman karena peristiwa yang terjadi di tanggal 30 September tahun 1965. Peristiwa itu disebut sebagai suatu usaha untuk mengganti dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan ideologi komunis. OK. Sampai sini dan seterusnya kita sepakat bahwa Pancasila—sebagai sebuah rumusan yang digali dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia—adalah yang paling tepat untuk negara multikultural ini. Sampai kapan pun, saya masih yakin, bahwa mengganti pancasila dengan ideologi lain adalah mustahil. Selama negara ini masih berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia, perjuangan mempertahankan pancasila akan selalu ada.
ARTINYA, semua ideologi, entah itu Fasisme, Liberalisme, Taoisme, Sosialisme, Kapitalisme bahkan Ideologi Islam sekalipun, bisa menjadi ancaman bagi Pancasila. Karena sejatinya perjuangan menegakkan ideologi adalah jihad bagi para pendukungnya, dan ancaman bagi para penentangnya. Jadi, mari berhenti menganaktirikan Komunisme hanya karena ia telah lebih dulu ‘mencoba’ dan gagal.
***