Makoto Shishio adalah seorang pembunuh bayaran yang dikhianati oleh pemerintah. Komagata Yumi adalah mantan pelacur yang dibuang. Mereka bersama untuk rasa sakit yang sama.
Yumi tak pernah meninggalkan Shishio, selalu disampingnya. Mendukung Shishio dengan kepintaran dan pengetahuannya akan teknologi. Membersihkan luka bakarnya, membalutnya dengan perban tanpa rasa jijik. Dan terus menerus iri pada pengikut Shishio yang mahir dalam pertempuran. Hanya Yumi, wanita yang Shishio berlaku lembut padanya. Tak ada yang tahu, rasa apa yang sesungguhnya tercipta diantara mereka berdua. Apakah itu cinta antar kekasih, atau hanya loyalitas pengikut pada majikan semata.
.
.
(The Legend End—Makoto vs Kenshin’s battle on the blackship scene)
Ini sudah lewat 14 menit. Yumi menatap khawatir pada Shishio yang masih bertempur dengan Himura Kenshin. Ini tak bisa dibiarkan. Dengan kondisi seluruh tubuh yang dipenuhi luka bakar, sistem metabolisme tubuh Shishio telah rusak. Ia tak bisa menghasilkan keringat yang mendinginkan tubuhnya. Akan fatal jika ia bertarung lebih dari 15 menit. Sementara Shishio dan Kenshin mulai kewalahan, tapi tak seorang pun berniat menghentikan pertarungan. Pedang masih beradu..Argumen tentang kebenaran masih terus mengalir dari bibir keduanya hingga…
Brukk!!
Shishio jatuh tersungkur dengan nafas yang tersengal karena rasa lelah dan panas yang mendera tubuhnya. Dengan kondisi seperti itu pun, ia masih berusaha memprovokasi Kenshin yang berdiri dihadapannya.
Kenshin tertegun sejenak menyadari tembok kekuatan Shishio yang tiba-tiba runtuh. Tak ingin menyianyiakan kesempatan, Kenshin bersiap mengayunkan pedangnya dan…
“Hentikan!!”
Yumi berlari mendekat dan jatuh berlutut dihadapan Kenshin. Ia merentangkan tangannya, seolah hendak melindungi Shishio. Ia memohon pada Kenshin untuk melepaskan Shishio.
“Kumohon.. tidakkah kau lihat ia tak bisa bertarung lagi? Ia sudah mencapai batasnya! Tubuhnya sudah ter—Akhh!!
JLEBB!!
Bersamaan dengan teriakan tertahan Yumi, sebuah pedang menancap dipunggungnya.. ujung pedang itu menembus bahu kanannya..dan berakhir di dada kiri Kenshin. Pedang itu, milik Makoto Shishio.
Saat pedang itu dicabut oleh pemiliknya. Tubuh Yumi ambruk bersimbah darah. Sementara Kenshin memegangi dada nya yang juga terluka parah. Shishio, berdiri tegak dengan pedang yang bermandikan darah..Darah Yumi.
Shishio berjalan mendekati Yumi.
“Yumi…”, bisiknya lembut seraya tertunduk memandang Yumi.
Kenshin geram menyaksikan tingkah Shishio.
“Kau…Bagaimana bisa kau..mengkhianati orang yang mencintaimu seperti itu?!”
.
.
Shishio mengangkat kepalanya, menatap tajam pada Kenshin.
“Apa? ‘Mengkhianati’ katamu?..hah! Jangan bercanda!! JANGAN MENILAIKU DENGAN STANDAR MU ITU!!”
.
.
Kenshin tertegun dengan adegan yang berlangsung dihadapannya. Setelah meneriakinya, Shishio mengangkat tubuh Yumi dan berjalan ke arah tangga. Ia mendekap Yumi dengan tubuh yang juga bersimbah darah. Saling memandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Wanita itu masih menatap mesra Shishio, meski nyawanya telah bersiap pergi.
“Shi..Shishio-sama”, ujarnya lemah
“Yumi..”, Suara Shishio pun tak kalah lemah.
“Aku bahagia..sungguh…Akhirnya..aku.. bisa berguna bagimu dalam..pertempuran”, Air mata Yumi menetes mengiringi senyumnya..Senyum terakhir sebelum menutup mata.
Shishio terdiam, menatap Yumi..dan tubuhnya yang tak lagi bernyawa. Perlahan, dengan lembut, ia membaringkan tubuh Yumi dan berbisik mesra..
“Tunggulah aku, Yumi..Aku akan menyusulmu. Kita akan bertemu lagi..di Neraka”
***
Satu-satunya adegan romance paling menyentuh dalam film ketiga Rurouni Kenshin: The Legend End.
Di dunia ini.. setiap orang memiliki standar idealnya sendiri. Tapi tentu saja, tak semua orang akan memahaminya. Lalu apa yang harus dilakukan? Bertahan dengan standar ideal masing-masing? Atau menyerah pada standar umum yang mainstream?
Kita semua seringkali bertindak seperti Kenshin, yang menilai kebenaran sebagai sesuatu yang normatif. Dengan mudahnya menilai orang lain dengan ‘standar baik dan buruk’ milik kita. Padahal mereka bisa saja memiliki standarnya sendiri. Saya pun begitu.. seringkali begitu. Menilai orang dengan ‘standar ideal’ yang saya miliki. Itu tentu menyakitkan bagi orang lain dengan ‘standar ideal’ yang berbeda. Tapi bahkan Himura Kenshin pun perlu ditegur, bukan?
Setiap orang pernah dikritik, di-jugde dengan standar orang lain, dirumorkan dengan isu yang timpang dengan kenyataan dirinya, dinilai dengan soal ujian milik orang lain. Itu teguran. Dan saat teguran itu datang. Kita akan tahu, bahwa di dunia ini, ada yang tak bisa mengerti kita. Ada yang lelah memberikan toleransi pada ‘standar ideal’ kita.
Menghakimi orang dengan standar kita, sekilas terkesan seperti sebuah kejahatan, ya?
Padahal tak seorang pun mampu berpaling. Karena setiap manusia terlahir dengan bakat ini: bakat untuk menilai. Itu bakat yang tak bisa dikendalikan. Bakat yang terlatih tanpa dilatih. Yang tajam terasah tanpa perlu diasah. Dan saat kita dinilai, kita tak bisa berbuat apa-apa. Kadang kita tak cukup berani bersikap idealis untuk menolak standar mereka. Tak cukup mampu untuk membuat mereka mengerti tentang kita. Tapi juga terlalu naive untuk menerima standar yang bisa menjadikan kita sebagai ‘bukan’ kita.
Maka maklumi tulisan rumit ini untuk membuat kalian mengerti tentang pria pecinta yang tetap setia meski ia mendua. Tentang ibu terbaik yang meninggalkan bayi merahnya di pintu sebuah panti. Tentang wanita yang tetap suci meski terjerumus prostitusi. Tentang pria yang tak tahu cara merayu keluarganya sekedar untuk makan malam. Tentang mahasiswa yang berlari di sepanjang lorong gedung padahal kuliah tengah berlangsung. Tentang seorang pimpinan yang menghadiri rapat petinggi dengan sandal jepit. Tentang perempuan yang menutup tubuhnya dengan cadar dan kain tebal meski matahari sedang terik-teriknya. Juga tentang anak perempuan dengan sebongkah bakat untuk menilai…dan dinilai.