“Sekolah hingga tingkat paling tinggi dengan beasiswa.”
Untuk seorang penuntut ilmu dari kalangan ekonomi menengah kebawah, kalimat itu terdengar menyenangkan. Kedengarannya sih. Bagaimana pun para pemburu beasiswa pasti tahu benar betapa sulitnya meraih gelar ‘awardee’ beasiswa. Beasiswa bukan hanya milik mereka yang jenius, tapi juga untuk mereka yang mau bekerja keras dan tak menyerah. Sedihnya adalah perjalan menuju beasiswa ini, bukan hanya mengorbankan waktu dan tenaga, tapi juga biaya. Yah, bahkan kita butuh biaya untuk bebas dari pembiayaan.
Di Indonesia, meski peluang beasiswa dari pemerintah ‘katanya’ terbuka lebar, lebih banyak pelajar yang lulus dengan ‘beasiswa’ dari keluarga. Seperti saya. Saya sempat dapat beasiswa dengan total berkisar di angka jutaan, cukup untuk meringankan SPP kuliah hingga lulus, tapi tidak seberapa jika disandingkan dengan kebutuhan perkuliahan dan lain-lain yang terakumulasi dalam 9 semester yang saya tempuh. Disinilah awal hutang budi saya pada keluarga yang membantu memberi dukungan finansial. Saya tidak sendiri, setahu saya banyak teman-teman yang juga mengalami keadaan yang sama: Dibiayai secara kolektif oleh keluarga.
Di pinggiran kota Wamena, Papua, biasanya sebuah koloni suku terdiri dari anggota keluarga. Silsilah yang sudah berkembang selama bertahun-tahun. Seorang ‘pakdhe’, kenalan keluarga kami yang juga seorang guru pernah bercerita, ada sebuah koloni suku yang terdiri dari banyak rumah Honai, tapi hanya satu anak laki-laki dalam keluarga itu yang masuk SMA. Akhir tahun 90an, beasiswa bukan hal populer di Wamena. Karena itu banyak anggota keluarga (bukan hanya keluarga inti) menyisihkan uang penghasilannya, uang hasil panen ubi, atau uang hasil penjualan hasil hutan yang dikumpulkan untuk membiayai salah satu anggota keluarga agar bisa meraih pendidikan yang lebih tinggi. Secara. Kolektif. Patungan. Dan hanya mampu membiayai seorang anak saja.
“Kasian dong pakdhe”
“Yo kasian. Tapi kan ‘nggo sok mben’ ndhuk”
Well, saya bukan anak kecil yang kritis saat itu. Jadi saya hanya diam karena tidak tau pakdhe itu ngomong apa. Baru saat ini saya paham. Terlalu materialistis untuk menyebutnya sebagai investasi, tapi mau tak mau saya pun menyadari bahwa ada beban serta tanggung jawab lebih yang dipikul oleh si penerima ‘beasiswa kolektif’ dari keluarga ini.
Kemarin, saya berdiskusi dengan seorang yang ikut satu program di daerah pedalaman indonesia dua tahun lalu. Ia berfikir jika di daerah pedalaman tak ada kemajuan bukan hanya karena kurangnya perhatian pemerintah, tapi juga karena kesadaran masyarakat pedalaman akan pentingnya pendidikan itu yang kurang. Orang tua tak memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Anak tidak diawasi untuk belajar padahal jika anaknya berprestasi tentu akan termotivasi mencari beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan perguruan tinggi. “Anaknya mandi atau tidak pun mereka tak peduli”, begitu katanya. Tentu saja itu benar, karena ia telah melihat fakta lapangan, telah berpengalaman. Sementara saya hanya punya kepingan memori dan sedikit logika.
Tapi memori dan logika ini menolak untuk 100% berkata ‘iya’ pada kesimpulannya. Orang tua-orang tua di kampung-kampung itu, bukan tak peduli. Mereka harus bekerja lebih keras untuk bisa hidup hari demi hari. Anak-anak mereka ikut bekerja tentu saja. Tapi mereka tahu harus ada anak mereka yang makan bangku sekolah. Seperti di Papua, kadang dari satu koloni keluarga hanya satu anak yang bisa sekolah. Anak yang pergi kesekolah itu, tak diantar berangkatnya, tak dijemput pulangnya, tak disiapkan sarapannya, tak sering dibekali uang saku, tak dirapikan baju seragamnya, padanya tak dibebankan kewajiban harus mandi sebelum berangkat sekolah. Tak pula dituntut harus rangking berapa ia di kelas. Bukan itu yang penting di dunia mereka. Mereka hanya punya harapan, bukan harapan yang melambung tinggi. Bukan harapan anaknya akan jadi juara olimpiade atau anaknya akan jadi orang kaya raya. Hanya harapan kecil, semoga anaknya bisa lebih baik daripada mereka dan bisa membantu saudara mereka, meski tak kaya. Itu yang dijanjikan oleh pendidikan. Butuh perjuangan untuk menyekolahkan. Banyak yang dikorbankan. Para orang tua itu, serta kerabat-kerabatnya, memiliki keterbatasan yang memaksa ‘beasiswa’ mereka berhenti disatu saat—dan mereka tahu itu. Karenanya, asal dapat ijazah saja kadang sudah cukup.
Berprestasi diantara keterbatasan adalah hal yang langka. Saat menemukannya, negeri ini akan gempar, seperti biasa. Sementara tak semua siswa bisa jadi penyebab kegemparan itu. Saya membenci diri saya sendiri karena memiliki pemikiran ini, karena saya pun bukan seseorang yang berprestasi. Di masa ini, beasiswa adalah kemewahan. Beasiswa bukan lagi alat untuk meraih mimpi—beasiswa adalah mimpi itu sendiri. Ia harus diraih, bukan diberi secara cuma-cuma. Beasiswa didapat sebagai hadiah akan kerja keras. Bukan sebagai hak wajib setiap warga negara. Semua persyaratan beasiswa membagi penerima beasiswa menjadi dua kategori: kamu harus sangat berprestasi atau kamu harus sangat miskin—miskin pun ada standar prestasi minimalnya. Dan jika kamu tidak termasuk diantara kedunya, hanya ada dua jalan: berhenti berharap atau terus maju dan bersandar pada modal kegigihan. Berhenti mengejar beasiswa tentu lebih mudah. Sementara memilih tetap maju dengan keadaan yang pas-pasan, berarti harus bersiap dengan tekanan mental setiap hari dan frustasi akan ketidakpastian. Berapa banyak yang bisa bertahan dijalan ini? Karena sejujurnya, jalan ini mulai terasa begitu melelahkan.
***