Essay

Mare Clausum—Mare Liberum

1453. Penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih.
Dalam perkembangan peradaban islam, ini adalah tahun yang dijadikan peringatan nostalgia kejayaan sultan fatih. Tetapi peristiwa ini, juga berperan serta membangkitkan monster berkulit putih dari barat..

Persinggungan bangsa-bangsa Eropa dengan pasukan muslim, berhasil memaksa mereka menekuk lutut di Konstantinopel pada perang salib. Hal ini rupanya membangkitkan kesadaran mereka akan adanya bangsa lain—yang disebutnya bangsa barbar—yang ternyata lebih kuat dan lebih kaya. Jatuhnya konstantinopel dalam genggaman Kekhalifahan Turki, memaksa pencarian jalur baru menuju sumber komoditas perdagangan dan rempah-rempah.

Eksplorasi samudra yang awalnya hanya coba-coba, mulai digencarkan karena desakan keadaan ekonomi yang melemah untuk biaya perang. Kerajaan, bangsawan, dan perusahaan-perusahaan dagang menjadi investor usaha pencarian harta karun ini. Mereka mempertaruhkan nasib diantara 2 sisi mata koin: kekayaan yang luar biasa atau kerugian yang tak terhingga. Ekpedisi demi ekspedisi dikirim untuk mengeksplorasi lautan yang belum tersentuh. Laksamana-laksamana beserta armadanya melakukan pelayaran tanpa kepastian—bergelut dalam logika keilmuan, mitos monster laut, suku barbarian dan kematian.

Ini adalah narasi klasik pembuka gerbang materi penjelajahan samudra.
***

Columbus Map

Spanyol dan Portugis menjadi pioner ekspedisi dengan armada-armada terkuat di masanya. Namun, kemajuan kemakmuran dan ilmu pengetahuan justru berbanding lurus dengan menguatnya hasrat untuk mendominasi. Perebutan klaim penguasaan jalur laut yang telah dirintis, menyeret Spanyol dan Portugis dalam ketegangan fisik dan politik. Dalam atmosfer kecemasan menghadapi pasukan muslim di perang salib serta kondisi ekonomi yang semakin melemah sejak konstantinopel ditutup, konflik kedua bangsa tersebut justru semakin memperburuk keadaan. Maka dilakukanlah perjanjian Tordesillas pada 1494. Sebuah kesepakatan antara dua bangsa yang disaksikan dan diambil sumpah atas keduanya oleh Paus Alexander VI. Portugis akan membuka samudra di timur eropa, sementara Spanyol harus melaju ke arah barat.

Dengan terbaginya dua jalur pelayaran ini, terciptalah hukum tak tertulis yang kemudian disebut kebijakan laut tertutup—Mare Clausum. Jalur yang dirintis adalah milik bangsa yang merintis, begitu pula dengan daerah yang nantinya ditemukan, kekuasaan memonopoli komoditas perdagangan didaerah tersebut adalah milik bangsa penemunya. Bibit-bibit penjajahan telah ditebar. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tak diimbangi dengan kearifan politik, akhirnya hanya melahirkan kekuasaan dengan cara kerja yang—tak lebih dari sekadar egoisme klasik.
***
Hatta…dahulu kala di belahan timur nusantara, berdiri sebuah kerajaan maritim yang namanya hanya sekadar lewat di buku paket sejarah—karena tenggelam oleh kejayaan Sriwijaya dan kemegahan Majapahit. Kerajaan tersebut sejatinya merupakan gabungan dari dua kekuatan kerajaan, Gowa dan Tallo. Tallo awalnya hanyalah kerajaan kecil dengan potensi perniagaan laut yang besar. Sementara Gowa adalah kerajaan besar yang ingin menguasai Tallo. Keduanya terlibat perang selama bertahun-tahun.

Perang tersebut berakhir dengan perjanjian damai dan penggabungan dua kerajaan. Kerajaan baru ini kemudian berpusat di wilayah Makassar, sehingga disebut Kerajaan Makassar. Pemimpin Gowa menjadi raja utama, sementara pemimpin Tallo menjabat Mangkubumi. Kerajaan Makassar digambarkan dengan ungkapan sereji ata, naruang karaeng—satu rakyat, dua raja. Bersama, mereka menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga serta menjalin rangkaian persahabatan antar kerajaan.

Pada masa pemerintahan Daeng Manrabba, kerajaan ini mulai berkembang menjadi Kesultanan Makassar. Setelah memeluk Islam, sang raja dikenal dengan nama Sultan Alauddin. Sementara mangkubumi Karaeng Mattoaya kemudian bergelar Sultan Abdullah. Kesultanan telah lebih dahulu berdagang dengan portugis, sejak bangsa tersebut menginjakkan kaki di tanah Celebes. Kemudian Belanda datang dan menawarkan konsep monopolinya.

Dalam rangka mencengkeram kesultanan Makassar, Belanda membujuk sultan Alauddin untuk tidak menjual dan tidak memberiijin berlabuh pada kapal-kapal Portugis. Namun, Sultan tidak menyukai hal ini karena bertentangan dengan hukum maritim yang selama ini ia terapkan. Bahwa pada prinsipnya, pemanfaatan laut terbuka bagi siapa pun—Mare Liberum.

“Tuhan telah menjadikan bumi dan laut. Bumi telah dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara terbuka. Tidak pernah didengar bahwa seseorang dilarang berlayar di laut. Jika engkau melakukan itu (melakukan pelarangan), dengan demikian berarti engkau merampas makanan dari mulut seseorang. Saya, seorang raja yang miskin”—Sultan Alauddin.

(Poelinggomang dkk. dalam Abd Rahman Hamid, 2013)

Ketegasan sultan dalam mempertahankan Mare Liberum didukung oleh keunggulan intelektual dan kearifan politik yang dimiliki Sultan Abdullah dan putranya Patingaloang. Sultan Abdullah memiliki perpustakaan dengan koleksi buku-buku eropa dan peta-peta yang tersimpan rapi. Ia mewariskan sifat ingin tahu dan kreatifitasnya pada sang putra. Berdua mereka menjadi diplomat—juru bicara Kesultanan untuk bangsa asing serta merangkap ilmuwan yang menerapkan dasar-dasar ilmu pengetahuan pada perkembangan perniagaan maritim.

Tanpa monopoli perdagangan, kapal-kapal dagang dari berbagai bangsa bebas berlabuh di dermaga Kesultanan Makassar—tempat komoditas Indonesia Timur berkumpul—dan dengan banyaknya pembeli, para pedagang komoditas bisa menentukan harga yang layak dan menguntungkan. Kerajaan Makassar kemudian berkembang menjadi bandar niaga internasional dengan kekuatan politik ekonomi di wilayah timur Indonesia. Menjadikannya kisah sukses paling cepat dan spektakuler dalam catatan sejarah Indonesia, kata Anthony Reid.

Mare Liberum, bukan hanya perkara kebijakan politik maritim Kesultanan Makassar. Melainkan juga cerminan karakter dan moral pemerintahnya.

***

Sumber referensi: ‘Sejarah Maritim Indonesia’–2013

Penelitian dengan tema sejarah maritim dan perniagaan laut di Indonesia masih jarang dilirik para peneliti sejarah–disisi lain referensi dan sumber pun sulit ditemukan.
Terimakasih Dr.  Abd Rahman Hamid untuk bukunya yang menginspirasi dan menyadarkan pentingnya pengembangan kekuatan maritim di Indonesia.

Leave a Reply