Sarwa boga.
Pertama kali menemukan kata ini ada di salah satu pupuh serat dewa ruci, kurang lebih 2 tahun lalu. Saya memahami serat Dewa Ruci sebagai ajaran filosofis atau tasawuf yang dituangkan melalui kisah Bima dan pencarian air kehidupan. Kata Sarwa-boga ada didalam kamus Bahasa jawa. Sementara jika kita mengetik kata tersebut di mesin pencari, Sarwa boga justru menjadi rujukan resmi Bahasa Indonesia bagi kata omnivore. Gak salah sih, artinya juga sama: pemakan segala.
Untuk urusan makanan, saya termasuk sarwaboga. Saya cinta daging, tapi sayur dan buah juga suka sih. Sementara umbi-umbian dan kacang-kacangan juga masuk menu ‘doyan’ alias ‘bisa ditelan’. Saya omnivore. Saya pelahap segala makanan. Bagaimana dengan ilmu? Jika kita mempelajari lebih dari satu ilmu, bisakah kita disebut sebagai pelahap segala ilmu? Karena ini blog saya dan ini opini saya, saya sepakati (?) bisa. Kita ini sarwaboga ilmu.
Semasa kecil saya begitu herannya dengan Leonardo Da Vinci. Bagaimana bisa ia menjadi seniman dan ilmuwan sekaligus. Avicenna, Averoes, Çandarlı Ibrahim Pasha.. banyak. Bukankah itu terlalu sempurna untuk seorang anak manusia? Sedikit beranjak remaja saya ketahui bahwa kemampuan itu disebut Polymath: Orang yang menguasai lebih dari satu bidang keilmuan, atau mempunyai pengetahuan yang luas. Ada lagi orang-orang dengan kemampuan menguasai lebih dari satu Bahasa: Polyglot. Nama Soekarno masuk dalam daftar polyglot.
Sedikit bernafsu saya pun ingin jadi seperti mereka: melahap dan menguasai banyak ilmu. Saat lulus SMA, beberapa teman saya sudah menentukan pilihan, seolah benar-benar tahu apa yang mereka tuju. Sementara saya, masih dirundung galau—Kata galau sudah ngetren belum ya waktu itu? Saya suka sejarah. Tapi saya punya skill dalam mempelajari Bahasa asing. Belum termasuk minat saya dalam urusan hukum dan debat. Belum ditambah bakat licik saya yang bisa jadi membuat saya berhasrat dengan dunia politik. Jangan lupakan minat jurnalistik saya. Banyak. Banyak hal yang ingin saya pelajari dan banyak bidang yang saya ingin jadi ahli di dalamnya. Tapi saya manusia dengan batas umur, karenanya saya pikir saya tak punya cukup waktu. Pada akhirnya saya memilih satu dan itu menghabiskan 4 tahun hidup saya.
Saya tetap berhubungan—dalam artian tetap mempelajari apa-apa yang jadi minat saya. Tapi rasanya tugas-tugas dan bangku kuliah membatasi saya untuk menjadi ahli di ilmu lain. September tahun ini, tepat setengah tahun sejak saya menyandang gelar sarjana. Tapi kebanggaan jadi sarjana hanya terasa di detik-detik wisuda. Setelahnya? Entahlah. Saya gak bangga juga sih, karena 4 tahun bergelut di bidang yang sama nyatanya tidak menjadikan saya benar-benar ahli di bidang tersebut. Saya memang melahap banyak ilmu, tapi tak benar-benar menguasainya. Sejujurnya saya masih sedikit takut untuk mengajar. Takut kalau-kalau murid saya gak puas dengan ilmu yang saya punya. Sering saya berfikir, Seandainya saja umur bisa dibeli.
Lucunya. Apa da vinci juga belajar di universitas? Kenapa kemajuan sistem pendidikan kita justru menghambat munculnya da vinci- da vinci baru?
Tapi kalau dipikir-pikir, da vinci tak lagi muda saat ilmu-ilmunya mulai diakui. Bahkan kehebatannya baru tersohor setelah ia mati. Mungkin karena itu kita dari kecil dikenalkan dengan kalimat long-life education. Meski sedikit menyesal, saya harap kita tak pernah merasa terlambat untuk belajar. Baiklah kita menyesal karena tidak memanfaatkan waktu dengan baik, sehingga ilmu yang masuk ke otak kita ini pas-pasan. Tapi jangan sampai menyerah. “Tak ada kata terlambat dalam belajar” semoga tak jadi kalimat kosong belaka.
Mungkin belajar sampai tua dan mati tidak buruk juga.
aku ga baca artikelnya. kata sarwa di judul udah buat merinding tentang pelajaran kimia di SMA 😀
Astaghfirullah.. ck.. ckck.. murid kurang ajar.