Ngomong-ngomong soal seragam. Kalau tidak salah sekitar 3 atau 4 tahun lalu, saya sempat ikut latihan english debate di SMA. Tema yang pertama kali diangkat : “Debating the school uniform”. Memperdebatkan penting tidaknya, perlu atau tidaknya penggunaan seragam sekolah dalam dunia pendidikan kita.
Because the uniforms are a symbol of users identity– Karena seragam merupakan simbol identitas/jati diri institusi si pemakai.Mengapa seragam sekolah itu perlu diterapkan dalam pendidikan di Indonesia ?
Alasan yang masih saya ingat waktu itu :
- To traine the dicipline– Melatih kedisiplinan.
- Students will feel more comfortable wearing uniform, if their entire classmates are wearing the same clothes. There will be no gap between poor and rich students– Tanpa seragam akan terjadi diskriminasi sosial, yang kaya akan tampil dengan pakaian yang tentu bagus-bagus dan fashionable. Lalu bagaimana dengan siswa yang miskin. Tentu hal ini akan memberatkan mereka.
Dengan logika anak SMA kala itu, saya menerima alasan ini. Namun, seiring berjalannya waktu, entah sejak kapan pastinya, yang jelas saya mulai merasa jenuh. Jenuh dengan semua aturan berseragam ini.
Kalau dipikir lagi, kita mulai berseragam sejak taman kanak-kanak, atau kalau anak jaman sekarang mungkin sejak PAUD. Saya sendiri 1 tahun di TK + 6 tahun di SD + 3 tahun di SMP + 3 tahun di SMA.
Sampai titik ini setidaknya sudah 13 tahun saya hidup dengan seragam. Entah beruntung atau tidak, diperguruan tinggi saya diterima di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. UNS. Mau tahu aturannya di sini ? Tiap Hari Senin dan Selasa wajib pakai seragam hitam putih. Karena sekarang ini saya duduk di semester 7. Setidaknya sudah lebih 15 tahun saya hidup berbalut seragam.
Jenuh.
Jenuh banget.
Jenuh sekali.
Jenuh banget sekali.
Selama hampir 2 bulan jadi guru magang di salah satu sekolah, saya semakin yakin dengan kejenuhan yang saya rasakan.
Pakaian, entah secara langsung maupun tidak langsung bisa sangat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang. Selama 3 tahun di universitas saya menyadari betul bagaimana pakaian bisa sangat menunjang penampilan saya saat presentasi. Pakaian yang bisa membuat saya nyaman dan tentunya mencerminkan jatidiri saya. Itu yang saya butuhkan.
And uniform isn’t my style.
Meski cenderung cuek dengan penampilan, saya menyadari benar bahwa kegagalan saya dalam menguasai kelas, salah satunya disebabkan oleh kegagalan saya menguasai diri sendiri. Seragam PPL yang hitam putih dan sepatu pantofel itu bukan gaya saya. Its even not suit to me.
Saya tidak percaya diri didepan kelas, nervous jadi mudah datang. Dan itu menyebalkan.
Karena itu juga, rasanya enggan sekali jadi Pegawai Negeri Sipil. Meskipun banyak sekali jalan, koneksi dan kesempatan untuk jadi PNS. Tapi hingga detik ini pun, saya tidak yakin apa saya benar-benar menginginkannya.
Jadi PNS sama artinya menyerahkan diri untuk hidup bersama seragam dari mulai wiyata bakti, pengangkatan, hingga pensiun. Sama artinya dengan berseragam seumur hidup.
Masalah seragam ini sebenarnya hanya satu dari sekian aturan yang tujuannya adalah mendisiplinkan. Guru harus menyadari bahwa ia harus jadi contoh bagi anak muridnya. Contoh yang baik. Tapi baik yang seperti apa?? Baik menurut siapa??
Itu pertanyaannya.
Ukuran baik menurut ‘mereka’ (entah siapa) adalah dengan berpakaian rapi, seragam, lengkap dengan atribut kedinasan. Stigma tidak tertulis tercipta disana-sini. Guru tidak boleh memakai ini, itu yang dianggap (mereka) tidak layak. Misalnya : celana jeans. Baru-baru ini sudah ada satu jurusan di kampus saya yang melarang mahasiswanya memakai celana jeans. Seolah memakai celana jeans adalah sebuah kejahatan. Maka pemakainya adalah penjahat. Potongan rambut juga, harus selalu dalam kondisi ‘rapi’.
Untuk calon guru macam saya, aturan-aturan ini lebih mirip pengekangan terhadap hak saya sebagai manusia yang punya apresiasi dan ingin berekspresi.
Saya masih terlalu muda untuk beradaptasi dengan bahan seragam yang panas. Dan mungkin, saya tidak akan pernah cukup tua untuk bisa memahami mengapa guru tidak boleh pakai celana jeans dikelas.
Saya hanya ingin jadi guru yang menyenangkan bagi murid-murid saya. Jadi pendidik yang mendidik dengan caranya sendiri. Jadi pengajar yang mengajar dengan kepercayaan diri. Saya ingin murid-murid saya mengenal saya dengan apa adanya saya. Bahwa saya adalah penggemar celana jeans. Bahwa saya lebih suka flat shoes daripada pantofel. Lebih suka blouse warna hijau army daripada baju putih yang mereka lihat saat ini. Lebih suka lagu-lagu korea dibanding lagu dangdut.
Sesederhana itu.