Review

Pemain Kedua Belas

Akhirnya selesai juga baca buku ini. Pemain Kedua Belas. Setelah tersendat sekian lama karena berbagai kesibukan dan kemalasan, akhirnya hari ini khatam juga sampai halaman ke-214. Tulisan ini sendiri bisa dibilang review atau mungkin hanya sekedar refleksi pribadi dari apa yang bisa kumengerti. Yap. Karena selalu ada pembelajaran dalam setiap fenomena yang kita lihat, dalam setiap cerita yang kita dengar, dan dalam setiap rangkaian kata yang kita baca.

Judulnya keren. Kenapa tertarik untuk baca buku ini? jelas, karena judulnya menarik. Sesederhana itu sebenarnya alasan seseorang berhasrat membaca buku. Uniknya buku ini adalah hasil karya salah satu Lembaga Pers Mahasiswa yang ada di Jogja. Persma-nya kampus UNY. LPM Ekspresi. Salah satu hal yang bikin iri.
Kenapa iri? yah, karena menurutku sekelas LPM sukses terbitkan majalah saja sudah luar biasa susahnya. Kalau buku?? itu.. wow.
Sampulnya agak aneh sebenarnya. Kalau dilihat sekilas hanya ada sapuan warna merah api dengan gerombolan orang dibawahnya. Orang yang tak paham maksud kiasan ‘pemain kedua belas’ bisa jadi mengira buku ini adalah tentang perang, kerusuhan atau semacamnya.
***
Buku ini membahas sisi lain dunia sepak bola. Aku sendiri tak benar-benar mengenal sepak bola. Bagiku sepak bola hanya sekedar tontonan hiburan. Tapi kadang agak panas juga kala ada suara yang bilang : “Sepak bola ngebosenin. Bola satu dikeroyok orang 22. Ngapain?”
Itu sama seperti melontarkan pertanyaan kenapa gerakan solat itu diawali dengan takbir, terus ruku’, terus i’tidal, lalu sujud?
Ya karena itu aturannya.
Pemain kedua belas.
Mungkin bukan sisi, tapi lebih tepat dikatakan sebagai satu bagian dari dunia sepak bola.
Bagian yang selama ini ada tapi bisa jadi dianggap tiada.
Bagian yang selalu ada tapi hanya dipandang sebatas kasat mata.
Bagian yang seringkali hanya dianggap perusuh dan penggembira.
Padahal sesungguhnya bagian inilah yang begitu banyak memberi arti.
Bagian yang begitu berperan dalam laju lari sebelas pasang kaki.
Bagian yang menjadi bayangan dari laga tanding 11 pemain inti.
Bagian yang menjadi pemain kedua belas dalam pertandingan ini.
PARA SUPORTER
***
Tak banyak di negeri ini yang sadar bahwa sepak bola adalah budaya dan agama baru..”–Andibachtiyar Yusuf
Yah, sepertinya aku sendiri juga baru sadar setelah baca buku ini.
Jika ada 3 hal yang punya kekuatan besar didunia ini, maka itu adalah cinta, harta dan sepak bola.
Entah kata-kata itu asalnya darimana, yang jelas dulu aku pernah baca.
Entah kebetulan atau memang inilah realitanya, sejak SMA bahkan hingga kuliah ini, sudah banyak teman sebaya yang jadi suporter klub bola. Banyak yang hanya penggembira, karbitan, ikut-ikutan pacar, sekedar formalitas agar tak tersingkir dari pergaulan. Tapi tak sedikit pula yang loyalitasnya bahkan tak terukur saking tingginya. Sudah pasti, banyak teman suporter klub bola yang akan lebih memilih berteriak serak di tribun stadion ketimbang bergeliat dengan pekat kantuk disudut ruang kuliah. Meski nilai dan presensi dipertaruhkan, apa boleh buat, jiwa mereka ikut berlari dengan para pemain inti di lapangan. Karena itu mereka harus datang.
Bisa jadi, beli tiket tribun, VIP ataupun VVIP itu adalah pemborosan, buang-buang uang. Bisa jadi juga, nyanyian, sorak, teriakan yang menggema di sepanjang tribun adalah hal tak berguna dan sia-sia. Namun, seseorang tak mungkin melakukan sesuatu dalam jangka waktu yang lama, jika itu benar-benar tak berguna baginya. Pasti ada faktor ‘X’ yang menjadikan kebiasaan itu pantas untuk diperjuangkan, faktor ‘X’ yang jadi aturan tak tertulis, faktor ‘X’ yang mampu memberikan rasa aman, nyaman atau apalah itu. Faktor ‘X’, yang membuat para suporter mempersembahkan loyalitas dan kesetiaannya.
Jika saja publik mau melihat kehidupan suporter jauh lebih dalam, bukan hanya yang tampak oleh mata. Bahwa ternyata suporter bukan hanya sekedar penghias tribun. Mereka memiliki posisi tawar yang tak dapat diduga oleh pemikiran yang cethek.
Suporter sepak bola dan klub yang mereka dukung tidak berdiri sendiri. Mereka berada disalah satu titik dalam sistem jaring laba-laba raksasa. Di titik-titik lain, mereka terhubung dengan kata-kata yang sebenarnya asing dalam kamus olahraga. Politik, ekonomi, kapitalis, sosialis, rasisme, bias gender. Mau tak mau, terhubung dengan hal-hal pelik yang jauh dari syair-syair penyemangat yang biasa mereka kumandangkan. Memperalat, diperalat.
Selama ini masyarakat memandang suporter sepak bola hanyalah sekumpulan perusuh. Sekumpulan penggembira yang bersorak riuh kala timnya juara lalu menghujat bejat kala timnya sekarat. Memang ada suporter yang demikian. Namun, mereka hanyalah riak kecil ditengah rumitnya samudra negeri para suporter ini. Gelombang eksistensi suporter sepak bola jauh lebih kompleks, bukan hanya sekedar beli tiket, nonton dan teriak-teriak. Hidup sebagai suporter sejati sama berartinya dengan pemain inti, karena mereka berkontribusi penuh bukan hanya dalam aspek mentality tapi juga fisik dan materi. Hidup sebagai suporter sejati berarti harus siap diombang-ambingkan oleh isu politik, kepentingan kekuasaan dan provokasi. Hidup sebagai suporter sejati berarti hidup dengan memegang prinsip dan kesetiaan yang pasti.
 ***
Rasanya ingin sekali menumpahkan seluruh isi buku dalam tulisan ini. Tapi nanti pasti kena masalah sama bagian hak cipta dan royalti (-_-“)
Berikut adalah rangkaian kata di sampul belakang buku ini. Cukup mewakili isi buku dan bikin penasaran pasti. And I like It.
“Jika jutaan orang menganggap menonton langsung pertandingan sepak bola sewajib menjalankan ritus keagamaannya, maka stadion telah menjelma menjadi kuil pemujaan. Di sanalah ratusan umat mendaraskan puja-puji beserta doa-doa kepada dewa-dewa kecil bercelana pendek.
Begitulah suporter sepak bola hadir selama ini.
Namun, mendukung klub bukanlah sekedar berlelah-lelah nyanyi di tribun. Menjadi suporter dapat juga berarti merumuskan identitas diri, dimanfaatkan oleh politik, bahkan terjebak dalam putaran kapitalisme global.
Buku ini hadir untuk memosisikan suporter sebagai sekumpulan orang yang terlibat dalam suatu pengalaman kolektif. Mereka bukan hanya bisa menonton. Namun, juga dapat menjadi subjek yang berperan dalam hal-hal yang sepintas terlihat jauh dari sepak bola.
Ya, merekalah pemain kedua belas yang selalu ‘bermain’ dengan hidup, sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan, setelah lolongan peluit panjang.”

Leave a Reply