Monolog

Ramadan #1

Mbak Janah ki uripe penak tenan ya mbak ya? Iri tenan aku” Kata Hesti suatu malam, dalam panggilan video group paling tidak jelas yang kuladeni semasa WFH ini.

“Kenapa?” Sambung Cecil. “Yo dia bisa mengekspresikan perasaannya tanpa beban ngono lho“, tegas Hesti.
“Karna sering update status ya? Haha.. Iya ya”, tanggapku singkat.
Hari ini saja status WA-nya menggemaskan–kadang bikin emosi karna aku tahu kisah bucin dibaliknya–seperti biasa:
Di kamar panas, depan TV panas. Yang dingin cuma sikapmu. 🙁
Hari ini cuma teks saja. Kalau beruntung ada foto selfie-nya. Luar biasa.

Janah alias J, biasa kupanggil begitu, tahun ini sudah lewat 1 dekade kami kenal sejak 2010 dan iya, dia tahu bagaimana mengekspresikan perasaannya–dengan komedi. Mamak adalah penggemar status-status J. “Aku kalau baca statusnya mbak Janah ki ra iso mandeg ngguyu“.

Tapi iya. Hari ini aku pun mengerti bagaimana rasanya iri. Seingatku aku tak pernah sendiri di hari-hari awal ramadan begini. Keadaan untuk bisa mengatakan aku-butuh-kalian-disini pun jadi tak mungkin lagi. Pesan sapaan tidak berbalas. Jarak terlalu sulit dipangkas. Hak mereka untuk menikmati waktu bersama keluarga pun rasanya tidak cukup bijak untuk dirampas.

Aku ingin menunjukkan sekaligus menyembunyikan perasaan. Ada orang-orang yang jelas tak boleh tahu betapa aku tidak sedang baik-baik saja. Ada yang tidak perlu tahu karena urusan emosionalku memang tidak penting untuk diketahui. Berapa kontak keluarga dan kolega akademis yang harus disembunyikan. Berapa yang tak ingin kubuat cemas. Berapa yang benar-benar kubutuhkan perhatiannya. Terlalu banyak effort yang harus dikeluarkan hanya untuk membuat status dan menyatakan betapa aku ingin menghempas air mata.

Pada akhirnya, memiliki kemampuan untuk bisa menunjukkan perasaan bisa jadi adalah sebuah kemewahan.

1 thought on “Ramadan #1”

Leave a Reply