Teaser Aruna dan Lidahnya sudah muncul kurang lebih sebulan saat aku dan Layla mengikat janji setia (?) untuk bersama-sama nonton film ini. Sebagai penikmat makanan, hukumnya fardhu ‘ain. Poster film Aruna yang pertama aku lihat, hanya memuat wajah 4 tokoh utama dan nama karakter yang mereka mainkan, tanpa menyertakan nama asli. Seolah menyatakan bahwa tanpa menyebut nama asli pun, seluruh Indonesia sudah tahu siapa mereka. Percaya diri sekali.
Aruna dan lidahnya adalah film ringan tentang persahabatan tiga penggemar kuliner ditambah satu cinta lama yang belum usai. Setting cerita sepertinya ada dikisaran dekade 2000an awal, saat isu flu burung mulai merebak. Aruna sepertinya bekerja di sebuah NGO yang fokus di isu lingkungan hidup. Dalam rangka investigasi terkait beredarnya wabah flu burung, Aruna melakukan perjalanan dinas bersama mantan seniornya, Faris, beserta Bono dan Nad, dua sahabat Aruna yang ngikut sana-sini dalam rangka kulinari. Fokus pengambilan gambar ada pada Aruna dan ekspresinya, serta pilihan makanan yang ditampilkan dengan angle zoom in yang lebay tapi tetap menggoda.
Tampilnya makanan sebagai penggoda bukan yang pertama di film Indonesia. Yang terdekat dari Aruna dan lidahnya adalah film bertajuk Tabula Rasa (2014). Khusus film ini makanan yang diangkat adalah surga favorit segala bangsa–Masakan Padang. Film berkisah tentang Hans, pemuda Papua yang bermimpi ingin jadi pesepakbola tapi dilindas kejamnya ibukota. Hampir bunuh diri, Hans yang gelandangan diselamatkan dan ditampung oleh Mak Uwo, pemilik rumah makan Padang. Bersama Natsir dan Parmanto, awal hingga pertengahan cerita diwarnai dengan konflik internal yang menemukan titik klimaksnya saat ada restoran padang super besar berdiri tepat di depan rumah makan milik Mak. Dari titik ini dimulai lah usaha untuk mempertahankan rumah makan Mak.
***
Bagaimana makanan ditampilkan dalam layar kaca?
Dua film diatas adalah film bagus, meski tak memenuhi ekspektasiku, sama sekali. Alasan bagusnya akan aku tulis nanti.
Alasan kecewaku harus kutulis lebih dulu:
Saat teaser kedua film tersebut rilis, mudah bagi penonton untuk mengkategorikan keduanya sebagai food film–film yang menjadikan makanan sebagai tokoh utama. Semestinya sih begitu. Tetapi yang terjadi pada dua film diatas adalah, makanan, seperti biasa hanya jadi pelengkap dan bait umpan penarik minat semata. Pada Tabula Rasa visualisasi makanan lebih detail dan unggul ketimbang milik Aruna, tapi tetap belum cukup. Keberhasilah food film, menurutku, adalah ketika penonton berhasil diajak merasakan apa yang mereka lihat. Dan itu gak cukup hanya dengan dialog “Kalau menurut gue beras ketan dan ebinya adalah perpaduan yang sempurna”.
Yoo opo ne njuk piye to yoo ‘sempurna’ ne ki maaass… mas nicholas!
Karena porsi makanan tidak memenuhi ekspektasi, mari kita lihat dari bagian lainnya.
Urusan perasaan, Tabula Rasa unggul. Dari awal sampai akhir film, campur aduk perasaan itu ada, mulai dari iba, takjub, humor hingga penasaran dengan ujung film yang menggantung. Bagaimana film ini membangun rasa kekeluargaan diantara orang-orang asing adalah bagian yang menurutku layak diapresiasi. Aku ingat setelah nonton film ini, besoknya dengan sengaja tukar libur kerja hanya demi segera pulang. Kangen Mamak dan masakannya.
Sementara Aruna, adalah drama persahabatan yang paling mendekati realita. Humornya receh parah. Nad, Bono dan Aruna tertawa lepas gara-gara humor yang gak seberapa, sementara aku mengernyit beberapa kali karena menurutku itu gak lucu sama sekali. Tapi yang terjadi di kehidupan nyata juga begitu kan?
Maksudku, kalau kamu punya teman, kadang ada hal-hal yang hanya bisa ditertawakan oleh kamu dan teman-temanmu. Inner jokes. Humor yang hanya bisa kalian mengerti tapi orang lain enggak, karena orang lain itu tidak berada di lingkaran pertemanan kalian. Itu yang ditampilkan oleh trio kwek-kwek ini dalam film Aruna dan lidahnya: Persahabatan yang realistis.
Aku kasih poin lebih untuk Tabula rasa karena ceritanya lebih kompleks, mengedepankan bagaimana barat dan timur yang berinteraksi di dapur Mak Uwo. Ditambah tagline film yang sekarang ikutan jadi tagline hidupku juga: Makanan, adalah iktikad baik untuk bertemu.
(Ini kode ya, maksudnya kalau aku ngajak makan, situ jangan nolak. Siapa tahu lagi kangen ya kan~)
Sebaliknya cerita versi Aruna terlalu sederhana dan gampang ditebak. Karena itu aku sangat menyayangkan mengapa bagian makanannya tidak lebih diunggulkan lagi. Tapi aku harus akui juga, kekuatan Aruna, menurutku, justru pada nilai-nilai yang terselip di setiap dialog dan adegannya. Aku suka bagian ini–yang bikin aku sok sok an jadi detektif film. Secara implisit, film ini berusaha untuk mendobrak tabu dengan cara paling sederhana. Membicarakan urusan affair di meja makan, pillow talk Aruna dan Nad–yang manis tapi getir, adegan kamar mandi yang kelewat detail, kondom dan pembalut yang satu paket, gambaran keluarga yang tak utuh (setiap adegan di warung hanya ada pengunjung ibu dan anak, ibu yang menyuapi anak, heii….bapaknya aruna juga gak keliatan kemana sih) dan aku yakin banyak hal implisit lain yang mungkin luput dari mataku. Aruna berusaha menjadikan tabu sebagai hal yang tak biasa, tapi ada dan layak ditampilkan dalam keseharian yang biasa.
Dua film ini bagus, tentu dalam porsi yang berbeda.
***
Oh ya. Ada satu drama korea yang menurutku bisa jadi referensi untuk membuat food film. Namanya Lets Eat, cek yang season 1. Kalau aku tidak salah ada 12 atau 16 episode. Aku sebut bagus karena penampilan dan eksplorasi makanan Korea pada drama ini mendapatkan porsi yang besar dan tidak tenggelam atau tersingkir oleh cerita. Bukan hanya mengandalkan fokus kamera pada visualisasi makanan, tapi tokoh-tokoh di drama ini juga menyuarakan filosofi makanan, cara makan yang menurut mereka nikmat, cara masak yang unik, serta sejarah makanan korea itu sendiri. Belum ditambah adegan meja makan yang memang mendapat porsi waktu lebih.
Aku menunggu food film ala Indonesia yang seperti itu, dimana makanan jadi bintang utama.
***
Keren. Suka.
Thankyou!