Monolog

Ketinggalan Di Rumah

Tabu bagi sebagian orang adalah jika berurusan dengan rokok, seks dan narkoba. Sementara tabu bagiku adalah membawa pekerjaan ke rumah. Rumah yang aku maksud adalah rumah orang tuaku. Aku mulai keluar dari rumah sejak S1, sejak mulai kos karena kebutuhan kuliah. Sejak itu pula, pantang bagiku untuk pulang selama masih banyak tanggungan tugas kuliah. Hal ini berlaku sampai sekarang dan untuk jenis tugas/pekerjaan apapun. Karena percuma juga, malah mengganggu saja.

Rumah yang sekarang kami tempati sebenarnya bukan murni rumah kami. Tidak satupun anggota inti keluarga yang namanya tercantum diatas sertifikat tanah. Kalau dalam keluarga Jawa, rumah itu rumah Induk: tempat keluarga besar dari garis Mamak untuk pulang kampung. Lokasinya ada di pojok desa, jauh dari tetangga. Kalau kata temanku, Bang Memed, rumahku itu markas Batman. Jadi ada jalan tunggal dari jalan raya menuju rumah tinggal di tengah pekarangan/kebun luas. Kalau musim hujan, lebat hijau seperti dikelilingi hutan. Dia curiga bapakku punya basement di bawah rumah.

Dulu benar-benar sering ada cerita, orang yang lewat di dekat rumah ini diganggu makhluk halus atau semacamnya. Aku dan keluarga sendiri tidak pernah mengalami, syukurnya sih begitu. Sekarang ini sudah mending. Kalau dulu, kata Mamak, tidak ada yang berani lewat dekat-dekat sini. Kalau malam sepi setengah mati. Itu salah satu alasan kenapa aku kesal sekali saat harus pindah dari Papua, dari Wamena-ku yang menawan, ke rumah angker ini. Ditambah lagi silsilah keluarga kami yang memang tidak jauh dari kata seram dan segan. Mbah-mbah buyut ada yang prajurit, ada yang wali mantri ada juga yang begal. Mereka hidup di jaman sebelum kemerdekaan. Jelasnya, di jaman itu, mereka termasuk orang-orang yang dikenal punya kesaktian. Orang kampung yang tua-tua itu percaya, rumah ini dekat dengan pintu gerbang kerajaan jin. Aduh! Pusing aku pokoknya!

***

Tapi sekarang ini, mudah sekali jatuh kangen sama rumah. Selain Bapak dan Mamak, eksistensi dua adikku yang lain adalah hal yang tak terbayang bisa bikin aku kangen rumah. Adik bungsuku sering keluar rumah, lagi nakal-nakalnya. Anak lelaki satu-satunya, bikin pusing Mamak tiap hari. Tapi kata Mamak, emosinya lebih stabil dibanding adik perempuanku.  Dia cenderung menjauhi masalah, sementara adik perempuanku lebih suka cari masalah. Kalau kata temanku, Janah, adik perempuanku adalah orang paling demokratis serumah. Ia paham akan hak hidup dan hak privasinya. Jangan coba-coba mengusik tasnya atau masuk ke kamarnya, anak itu kalau sudah ngambek, tidak ada obatnya.

Makna rumah berubah setelah aku mulai kuliah. Jarang pulang membuat aku sadar bahwa tidak ada tempat senyaman rumah ini. Rumah adalah tempat satu-satunya yang membuatku tidur nyenyak, yang membuatku bisa makan banyak dengan tenang tanpa gangguan pencernaan. Kembali ke kos adalah hal yang paling membuatku malas. Setiap kali aku atau adik-adikku akan berangkat sekolah atau kembali ke perantauan, Bapak dan Mamak akan standby di pintu, mengantar kami berangkat. Aku juga biasanya berangkat saat keduanya ada di rumah, atau jika mereka sedang ada urusan diluar, maka aku menunggu sampai mereka pulang. Pertanyaan yang tidak pernah luput dari mereka adalah:
“Ada yang ketinggalan gak?”
Lalu diikuti dengan penyebutan nama-nama objek seperti SIM, STNK, dompet, charger HP dan kunci kos.
Setelah cek ulang dan memastikan semua sudah di tas, barulah aku pamit dan berangkat.
.
.

.

.

Satu kilo meter,

Lima kilo meter,

bahkan puluhan kilometer kemudian sampai di kos, aku tak pernah merasa tenang.
Rasanya seperti ada yang ketinggalan,

Oh iya. Hatiku ketinggalan di rumah.

***

 

 

 

 

 

 

 

2 thoughts on “Ketinggalan Di Rumah”

Leave a Reply