Review

Wiro Sableng dan Puncak dari Segala Tren Nostalgia

Sudah lama pengen nulis tentang ini. Tentang bagaimana waktu-waktu terakhir banyak sekuel dirilis, banyak remake, banyak film digarap untuk menebeng popularitas versi sebelumnya. Perlukah aku sebut AADC 2 (2016), Ayat-ayat Cinta 2 (2017), Si Doel The Movie (2018), Eiffel, I’m in Love 2 (2018) ? 
Produsen tahu mereka punya stok cerita, setting semesta, karakter yang sudah terkenal dan yang pasti, ada pasarnya. Ketika akhirnya versi baru rilis di bioskop, jangan kaget kalau isinya copy-edit dan glorifikasi semata.
Lalu, apakah Wiro Sableng (2018) juga termasuk diantaranya?

***

Film dimulai. Sedikit merinding setengah bangga saat logo Fox Century tampil beriring suara “wuihh!” dari penonton yang jaraknya 2 kursi di samping kiri. Hal yang kemudian bikin sedikit menyesal karena di detik yang sama ekspektasiku terbang terlampau tinggi.

Setting cerita diambil mulai dari awal kisah hidup Wiro, seorang anak yang orang tuanya dibantai, hampir mati dan diselamatkan oleh pendekar super sakti. Ia dididik selama 17 tahun, ditempa ilmu kanuragan dan diwarisi senjata yang tak ada duanya. Sang guru, Sinto Gendeng, memberikan tugas pertama dimana ia harus menyeret pulang Mahesa Birawa, kakak seperguruannya yang mbalelo. Wiro turun gunung dan memulai perjalanannya.

Aku mau nulis sinopsis spoiler lengkap tapi males ngetiknya sumpah.

Kita bahas dulu kelemahan-kelemahan film ini:
Pertama, cerita terlalu berpusat pada Wiro, sehingga eksistensi di sekitarnya menjadi rapuh dan tak terbahas. Kalian mungkin berfikir bahwa ini wajar karena judul filmnya saja “WIRO SABLENG”, tapi kalau sudah menonton kalian juga pasti sadar bahwa bangunan narasi perjalanan Wiro tidaklah sekuat itu. Wiro akhirnya tahu bahwa Mahesa Birawa adalah dalang pembunuh orang tuanya, tapi Wiro tak pernah tahu bagaimana Ayah ibunya dan Mahesa bisa saling mengenal. Adegan ini ditampakkan sekilas diawal ketika Mahesa menyapa dengan kalimat “Lama tak jumpa”, tapi tak pernah dijelaskan hingga akhir cerita. Kalau memang tak hendak dijelaskan, mengapa harus ditampilkan? Ada dua opsi jawaban untuk menutupi kelemahan ini:
A. Akan dibuat sekuelnya
B. Film ini memang ditujukan untuk fans loyalnya saja.

Kedua, setidaknya ada kurang lebih 5 seri cerita dari The Wiro Sableng Universe yang ditumpuk dalam durasi 123 menit saja. Setiap penjahat yang muncul memiliki semestanya, memiliki ruang cerita sendiri tentang asal-usul, kekuatan dan bagaimana mereka beraksi. Tapi semua campur aduk dalam pertarungan-pertarungan singkat seolah tak ada hari esok bagi film Wiro selanjutnya. Wirapati–Pendekar Pemetik Bunga–mati ditangan Anggini dalam durasi kurang dari 5 menit? Eiihh! Yang benar saja!
Padahal setiap karakter penjahat di film ini ditampilkan begitu kuat bahkan hanya dari penampakan luarnya. Jadi melihat mereka satu-satu mati begitu saja, kesel aku tuh!

Ketiga, komedinya memiliki frekuensi sendiri. Maksudku, mungkin yang bisa menikmati memang hanya fans Wiro Sableng saja. Aku tahu bahwa keunikan Wiro sebagai seorang pendekar ada pada sifat setengah gila dan humorisnya. Tapi aku gak tahu apakah menempatkan humor yang tak habis-habis dalam sebuah film adalah hal yang bijaksana. Lucu kok, aku juga ketawa. Tapi aku gak bisa bohong bahwa nalarku terus menolak tipe bahasa dan guyonan tersebut muncul di abad ke 18. Hingga titik tertentu, humor dalam film Wiro Sableng ini terkesan berlebihan. Bayangkan jika kamu hanya penonton biasa yang baru mengenal Wiro Sableng, bisakah kamu mengerti istimewanya KenKen tampil sebagai cameo di pertarungan warung makan?

Di scene ini ada cuplikan lagu Ost serial Wiro Sableng yang cuma dikutip beberapa detik. KZL.

Keempat, adegan laga menjadi salah satu kekuatan sekaligus kelemahan di film ini. Sebagian besar pemeran pendekar memang ‘pendekar’ asli di kehidupan nyata, dari mulai atlet silat sampai aktor dan koreografer laga. Mungkin karena itu figur dan gerak laku mereka kelihatan begitu natural. Tapi juga memunculkan pertanyaan, kenapa Wiro kalah berkali-kali saat melawan Mahesa Birawa?
Apakah untuk menunjukkan bahwa ia masih anak baru di dunia persilatan? Menyampaikan pesan moral bahwa pahlawan juga melewati proses jatuh? Atau karena gerak tarung Yayan Ruhiyan lebih kelihatan alami ketimbang Vino Bastian?
Adegan keroyokan untuk mengalahkan Mahesa Birawa di akhir cerita juga merupakan formula yang sudah dipakai berkali-kali. Kalian akan menemukannya rumus yang sama dalam pertarungan melawan Sishio di Rurouni Kenshin: The Legend End (2014), versus Dominic Toretto di FF8 (2017) atau versus Thanos di Invinity War (2018). Sebegitu hebat kah Mahesa Birawa sampai Wiro butuh bantuan untuk menghabisinya? Apa kabar dengan pertarungannya melawan Pangeran Matahari nantinya.

Sampai sini, apakah Wiro Sableng hanya mendompleng kesuksesan pendahulunya?

Tunggu dulu~~

Kelemahan film adaptasi selalu berputar pada bagian dimana ia mampu atau tidak untuk menghidupkan karakter-karakter dalam novel. Di Wiro Sableng, bagian ini justru jadi poin keberhasilannya. Kostum dan karakter mungkin berlebihan, tapi sempurna–bahkan melebihi ekspektasi. Karena itu salah satu poin kritikku diatas sejatinya hanya menyayangkan mengapa karakter-karakter yang bagus ini tidak diberi ruang yang lebih luas. Angga Dwi Sasongko bahkan berani-beraninya bikin penonton mengharap sekuel dengan menampilkan after credit. Awas kalau PHP.

 Aku suka bagaimana Vino G. Bastian kehilangan ‘Vino G. Bastian’-nya disini. Dia bukan lagi aktor pemeran utama film romantis, tapi memang pendekar ciptaan bapaknya. Favoritku adalah penggambaran Pendekar Pencabut Sukma dan semua karakter dalam istana, kelihatan alami sekali. Sementara yang membuatku jatuh cinta adalah Penjahat Wirapati, Si Pendekar Pemetik Bunga (Iya sih. Amanda selalu jatuh cinta pada orang yang salah). Wirapati sejatinya adalah penculik dan pemerkosa. Daripada menampilkan sosok bermuka mesum, Pendekar Pemetik Bunga justru terlalu menawan dan lebih cocok disebut pecinta wanita. Uwuwuw~

“Culik adek Bang~”

Aku sungkan memuji, tapi film Wiro Sableng memang artistik. Ini kali ya yang disebut ada harga ada rupa. Satu-satunya efek CGI yang mengganggu hanya adegan di cabang pohon tua tepi jurang. Pengaturan latar belakang suasana maupun musik pengiring membuat film ini secara keseluruhan tetap menawan meski diselipi komedi receh. Dari segi fantasi fiksi dan koreografi aksi, Wiro Sableng hanya bisa dibandingkan dengan Pendekar Tongkat Emas (2014). Sampai hari ini, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut 212 masih merajai top 3 schedule film di Bioskop Kota Jogja. Wiro Sableng mungkin memang mengincar pasar fans loyal pendahulunya, tetapi ia juga memiliki potensi besar untuk jadi franchise baru di genre film laga Indonesia. Film ini adalah versi upgrade dimana setiap karakter dan skillnya bisa jadi Hero baru untuk game Mobile Legend.

***

 

 

Leave a Reply