Monolog

Kisah Kesah

Semesta selalu punya cara untuk mengajakmu menertawakan diri sendiri.

Seperti hari ini.
Perutku sakit sekali sejak siang dan entah kenapa aku tak pernah punya cukup tenaga berkompromi dengan tamu bulanan. Ada final paper yang mendekati tiga ribu kata dan masih menunggu ditambah muatannya. Jadi sambil tiduran aku mengandalkan setan persegi panjang untuk menanyakan dimana bisa kucari referensi hukum tanah leluhur di Bali.  Aku gak tahu bagaimana bisa di laman kesekian muncul blognya si Adit dan sebuah tulisan berjudul Kisah Tanah.

Singkatnya, tulisan itu adalah halaman patah hatiku yang pertama, tahun 2011. Waktu aku masih muda (?). Masih berfikir bahwa cinta manusia itu ada dan abadi. Uniknya, tulisan itu kubuat jauh hari sebelum aku benar-benar putus cinta. Semacam firasat sepertinya. Hih!! Aku bahkan gak sanggup baca tulisan itu sampai selesai. Gelikk!
Itu juga alasan kenapa aku tautkan laman blognya Adit di tulisan ini. No no, gak ada ruang untuk repost yang satu itu. Bagian lucunya adalah, ini tanggal 6 Agustus. Tujuh tahun yang lalu di tanggal yang sama dan jam yang kurang lebih sama aku menerima SMS permintaan pemutusan hubungan (apaan sih). Iya, wacana diputusinnya lewat SMS. Tapi egoku udah tinggi dari lahir, karena itu aku minta tatap muka keesokan harinya dan memutuskan tanggal putus resminya adalah 7 Agustus. Sialan, ini harusnya jadi hari yang gak perlu diingat kalau saja aku gak ketemu tulisan itu. Karena itu aku bilang, semesta lagi ngajak bercanda.

Aku kaget setengah mati karena benar-benar lupa pernah bikin tulisan itu. Lebih banyak ketawanya sih. Sampai gak tau apa aku harus berterimakasih atau memaki Adit karena sudah berbaik hati melestarikan kisah menggelikan itu. Tapi hal yang kemudian membuatku bersyukur adalah fakta bahwa waktu benar-benar mampu mengubah sesuatu. Di ruang lelah dan segala yang serba diburu ini, aku masih diberi kesempatan untuk nostalgia. Bukan untuk merindu, tapi untuk melihat betapa aku sudah benar-benar jadi pribadi yang mungkin berbeda. Itu jatuh cinta yang sejatuh-jatuhnya dan patah hati yang sepatah-patahnya. Tapi kalau bukan karena momen itu, aku gak akan jadi aku yang sekarang.

Aku di tahun 2011:
Adalah anak S1 yang kebetulan dapat IP bagus tanpa banyak usaha. Ingin segera lulus dan menikah. Lalu patah hati dan menghabiskan sepanjang tahun untuk menangis, menanyakan salahku dimana, kurangku apa. Terlalu bergantung sama orang lain dan langsung kehilangan arah saat ditinggal pergi.

Aku di tahun 2018:
Bukan aku yang berhak menilai aku hari ini. Setahuku saat ini aku adalah mahasiswa S2 yang masalah hidupnya hanya berputar pada cara mengatur waktu antara kerja dan kuliah. Berencana memulai thesis di tahun ini. Punya sedikit teman tapi selalu bisa diandalkan. Mencintai diriku sendiri dan untuk beberapa hal detail yang tak bisa kutulis disini, intinya aku bangga dengan aku yang hari ini.

Kalau hidup setiap orang adalah sebuah film, maka genre hidupku bukan romance. Gara-gara momen itu aku jadi fokus merajut pertemanan dan menghargai keluarga. Mulai berambisi untuk mengejar visi yang lebih jauh, bukan hanya sekedar lulus kuliah lalu menikah. Aku juga mulai tahu dunia luar, dunia yang lebih besar. Mulai menyibukkan diri dengan organisasi dan nongkrong di warung kopi. Astaga, aku ngetik ini sambil ketawa sekali dua kali–atau berkali-kali. Setengah mengakui bahwa aku pernah galau, pernah alay, pernah bersikap menggelikan gara-gara lelaki, pernah jadi sosok perempuan yang aku benci hari ini. Kalau ada pintu doraemon sekalipun aku gak akan mau mengulang masa itu lagi. Tapi aku bersyukur pernah bertemu dengan masa itu. Tahun dimana aku memulai titik balik hidupku. Setiap nama datang dan pergi untuk sebuah alasan dan mereka bukanlah pihak yang bersalah. Pilihannya ada di tanganmu. Apapun hasilnya harus diterima sebagai reward atau resiko dari pilihan itu sendiri. Aku rasa itu hukum alam yang sesungguhnya. Paling tidak pola pikir ini bikin aku gak ragu untuk memutuskan hal-hal krusial dalam hidup.

Pada akhirnya semua hal terjadi dalam rangkaian sebab akibat yang pembuktiannya dilakukan oleh waktu. Karena itu setiap hal layak menerima ucapan terimakasih.

 

2 thoughts on “Kisah Kesah”

  1. Ku baca ni pun sambil ngguya ngguyu lho, Mbak. Tapi pancen gitu sih, patah hati juga membuatku menemukan kemudian mencintai diri sendiri. Ehee~

Leave a Reply