Monolog

Kuliah Dimana, Manda?

Tulisan ini dibuat untuk dua alasan. Pertama, karena ini satu-satunya yang bisa aku berikan untuk CRCS–Of course! I’m not smart enough to become part of their researcher line anyway. Kedua, karena banyak orang yang salah paham dan mengira bahwa lulus dari sini aku akan jadi ustazah.

Ada satu pemberitaan yang mewarnai tahun 2012. Tentang Irshad Manji–seorang muslim reformis yang batal menjadi pembicara di sebuah forum diskusi di UGM. Penyebabnya karena adanya protes dari kelompok-kelompok sayap kanan Islam yang menentang diskusi tersebut. Aku tahu nama Irshad Manji gara-gara satu tugas di Mata Kuliah Sejarah Intelektual. Irshad Manji adalah sosok yang mau tidak mau membuatku juga ingin jadi muslim tanpa takut mengekang batas pemikiranku sendiri. Dalam setiap pemberitaan terkait kasus ini, aku mengingat satu demi satu nama komunitas yang “berani-beraninya” mengundang Irshad Manji. Sebuah kanal berita menautkan reportasenya dengan tulisan bertajuk ‘Atmosfer Akademik dan Polusi Ancaman’.
Ini adalah momen perkenalanku dengan CRCS.

Awalnya aku kira CRCS adalah sebuah NGO atau organisasi non-profit. Apapun bentuknya, aku ingin bergabung dengan mereka mulai dari detik itu. Secara tidak sadar, aku mulai tertarik dengan agama dan budaya. Hal yang kemudian menuntunku menemukan Wayang Wahyu sebagai topik skripsi strata satu.

CRCS. Center of Religious and Cross-cultural Study. Dalam ujian masuk Pascasarjana UGM, jurusan ini kemudian dikenal dengan nama Prodi Agama dan Lintas Budaya. Oke, dari sini kamu tahu kan kenapa banyak yang berfikir aku akan jadi ustazah. Padahal tidak (aku gak bakat jadi ustazah). Apakah prodi ini dikenal secara umum? Tidak. Menurutku level selebritasnya bahkan tidak bisa disandingkan dengan semua bidang keilmuan yang terbagi dalam dikotomi IPA dan IPS. Jurusan ini masih muda di Indonesia karena memang baru didirikan pada awal reformasi. Tahun 2000 tepatnya. Ini adalah jurusan Studi Agama (yang sepertinya) pertama di Indonesia. Beberapa teman yang kebetulan lulusan UGM bahkan gak tahu ada jurusan macam ini di UGM. Jadi ketika orang bertanya jurusan apa ini, aku mengawali jawabanku dengan ketawa menahan tangis.

Tapi kehidupan S2-ku tidak selalu mulus. Semester kedua badanku mulai susah diajak kompromi. Hampir setahun kerja shift malam ditambah kegiatan kelas setelah jam kerja, badan dan otakku rasanya mulai melemah. Aku kehilangan fokus di kelas. Tidak sanggup menahan kantuk lagi. Hasil kerja di kantor juga berantakan. Hingga puncaknya tepar juga di kasur hijau beraroma obat dengan selang memanjang disisi kiri tempat tidur. Itu momen yang berat, belum termasuk mentalku yang mulai merasa inferior karena sudah ketinggalan banyak hal dibanding rekan kelasku yang lain. Mempertanyakan kembali apakah keputusan untuk masuk di jurusan ini adalah hal yang tepat. Satu titik dimana aku menangis di depan Mamak dan merengek minta diijinkan untuk berhenti dan menyerah.
Itu sebelum aku sadar bahwa aku akan kehilangan banyak hal jika berhenti di tengah jalan.

Beberapa poin penting tentang CRCS yang aku catat supaya aku tidak berfikir untuk menyerah lagi:

  1.  CRCS adalah pusat studi sekaligus progam studi lintas agama yang tidak berafiliasi dengan agama manapun. Ada ruang independen yang membedakannya dari jurusan teologi tertentu. Semua agama hingga non-agama pun disinggung. Rekan kantor yang kebetulan lulusan prodi sebelah bahkan menyebut CRCS sebagai jurusan arisan kitab suci.
  2. Agama dipelajari dalam statusnya sebagai fenomena yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Bukan untuk mencari mana yang salah dan mana yang benar. Karena itu adanya opini bahwa masuk jurusan ini otomatis akan membuat seseorang jadi murtad adalah hal yang paling melelahkan untuk ditanggapi. Kenapa orang beragama justru insecure sekali dengan keimanannya?
  3. Bahasa pengantarnya bahasa Inggris. Aku benar-benar masuk jurusan ini dengan modal nekat. Jangan tanya apakah bahasa Inggrisku sudah level advance atau belum, karena pintar teori bukan jaminan kamu pintar juga mengaplikasikannya. Bahasa inggrisku berantakan, tapi tidak seorang pun, bahkan dosen native sekalipun yang akan mempermasalahkan kemampuan bahasamu. Begitu juga dengan teman-teman di kelas. Sebut kata apa saja yang bisa muncul di kepalamu. Mereka paham.
  4. Response Paper and Final Paper. Aku gak tahu apakah hasilnya akan sama seandainya aku fokus kuliah saja tanpa kerja, tapi sumpah ini yang bikin aku kewalahan. Response paper adalah respon terkait bacaan kelas yang intervalnya mingguan. Jadi kamu baca lalu buat respon untuk bacaan itu. Per minggu cuma satu kok. Satu dikali empat mata kuliah.
    Final paper adalah akumulasi hasil belajarmu yang harus diproduksi sebagai tugas akhir semester. Tidak ada ujian tertulis di CRCS, final paper ini adalah gantinya. Jenis dan ketentuannya bisa berbeda tiap mata kuliah. Sejauh ini rata-rata 2000-5000 kata. Dalam bahasa inggris. Dari setiap final paper yang sudah aku buat, selalu berakhir dengan rasa menyesal karena tidak mampu memberikan yang terbaik. Mungkin poin ini akan direvisi tahun depan dengan tambahan informasi setelah aku melewati thesis.
  5. Lecturers. Salah satu alasan kenapa aku akan melewatkan banyak hal seandainya berhenti di tengah jalan dari CRCS. Aku sungkan untuk memuji sebenarnya, gimana yaa~
    Dosen paling unik itu Mr. Maarif, aku gak tahu bagaimana bisa CRCS menemukan manusia seperti ini. Aku sudah lama berteman dengan akun FB-nya (dalam rangka stalking investigasi tentang seluk beluk CRCS) dan beliau bukan tipe yang suka posting rutin di sosial media. Karena itu aku tidak sangka karakter aslinya bisa begitu hyper-ekspresive dan ikonik. Kelasnya juga. Aku akan tetap ikut kelas indigenous religion-nya meskipun sudah semester akhir. Dosen paling baik dan perhatian itu Mr. Vanderbilt, beberapa teman bilang kelasnya membosankan. Kalau aku sih seneng-seneng aja karena kelasnya paling banyak jadwal presentasi dan jalan-jalannya. Kalau dosen yang frekuensi humornya bisa aku tangkap itu Mr. Ahnaf, salah satu alasan kenapa aku sangat menyesal tidak bisa memberikan hasil yang maksimal di kelasnya.  Stylist. Semua dosen punya selera fashion yang oke sih. Kalau Mr. Ahnaf dan Mr. Maarif masuk kelas dengan sepatu kets, gak bisa dibedain mana yang dosen mana yang mahasiswa. Bukan karena mereka kelihatan lebih muda, tapi memang mahasiswanya aja yang gak muda-muda amat.
    Semua dosen di CRCS kharismatik sih, tapi ada satu yang lumayan bikin takut di awal kelas dulu, Mr. Bagir. Tapi ini adalah hasil konstruksi sosial. Saat orientasi, beliau diperkenalkan sebagai spiritul leader di CRCS. Aslinya gak semenyeramkan itu sih. FYI, Kelas Religion and Ecology-nya masih jadi kelas favoritku sampai sekarang.  Kalau dosen favorit, Ms. Swazey lah. Sosok yang bikin aku berfikir bahwa ‘seandainya aku jadi dosen, aku ingin jadi seperti dia’. Gilang gak mau ikut kelasnya karena dia bilang itu macam kelas listening: ngomong inggrisnya cepet banget.
    Nama-nama diatas belum termasuk dosen tamu dan pakar yang diundang.
    Ups! Poin ini kepanjangan ya. Emang suka gak sadar kalau lagi ngomongin orang mah.
  6. Tri Dharma Perguruan Tinggi ada disini. Bukan hanya mengajar, setiap dosen masih aktif meneliti, menjadi akademisi sekaligus aktivis dan melaksanakan fungsi advokasi sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Sekali lagi, aku sungkan untuk memuji. Tapi aku mengundang kalian untuk mencicipi pendidikan di CRCS dan melihat sendiri bagaimana hebatnya orang-orang ini. Oke, ini promosi.
  7. Staff administrasi yang super responsif. Waktu persiapan pendaftaran aku kirim email ke staff, yaitu Kak Lina dan langsung dibalas dengan cepat. Semua pertanyaan dijawab dengan jelas. Aku ingat di hari pengumuman UM UGM, ada telfon dari staff prodi, Mbak Nuning yang mengucapkan selamat sekaligus menginfokan beasiswa apa saja yang tersedia. Iya, aku dapat info beasiswa unggulan salah satunya dari mbak ini. Hingga saat ini pun, group WA kami masih aktif menerima info konferensi dan kegiatan yang bisa diikuti oleh mahasiswa. Belum termasuk website CRCS yang informatif dan serba ada. Aku harap sesegera mungkin menemukan cara membantu administrasi prodi S1-ku untuk berkembang sebaik ini.
  8. Wednesday forum. Enam tahun lalu, forum inilah yang sedianya akan menggelar diskusi bersama Irshad Manji. Ini hanya forum sederhana dimana pakar dan pembicara diundang untuk mempresentasikan karya dan pemikirannya di ruang kelas yang terbuka untuk umum. Digelar setiap hari Rabu. TED talk versi kelas publik yang masih dilengkapi dengan sesi tanya jawab.
  9.  Tidak seorang pun akan merendahkan level keilmuanmu. Tidak teman, apalagi dosen dan pakar-pakar yang diundang. Aku tidak tahu atmosfir akademik yang sesungguhnya apakah benar seperti ini, tapi ini adalah hal yang membuatku tidak berhenti berterimakasih. Berhadapan dengan banyak pemikiran yang lebih ahli membuatku jadi pendengar yang baik tanpa ragu mengangkat tangan jika memang ingin bersuara. Sekonyol apapun, idemu akan tetap dihargai. Di ruang 406, setiap opini layak untuk disuarakan. Setiap suara layak untuk didengar.

Jadi, Manda kuliah dimana sekarang?

CRCS.

😀

3 thoughts on “Kuliah Dimana, Manda?”

Leave a Reply