Monolog

Bapak dan Mamak: Part 1

Hari ini setelah kelas Religion, Gender and Sexuality yang membahas tema konstruksi keluarga, memoriku kembali ke hari itu.

20 tahun lalu..

Keluarga kami tinggal di pinggiran Wamena. Di balik barisan bukit Desa Pikhe. Sebagian besar yang tinggal di area ini adalah pendatang, termasuk keluargaku.  Karena sama-sama perantauan, tetangga sudah rasa macam keluarga. Kalau diingat-ingat, sekompleks yang tinggal di area itu anaknya laki-laki semua, kecuali aku dan adikku. Suatu hari aku dan mamak pergi ke rumah tetangga yang sama-sama orang Jawa. Mereka punya bocah laki-laki yang umurnya 1 tahun lebih muda dari aku. Teman bermain, tentu saja. Hari itu mamak dan bulik (si ibu bocah tadi) ngobrol tak jelas apa di pintu dapur. Sementara aku dan bocah ini entah bagaimana memutuskan untuk main perang-perangan.

“Ayok, main power rangers!”
“Ayok!”

Baiklah.. Jadi pertarungan hari itu adalah antara ranger merah melawan ranger biru. Iya, civil war.
Akhirnya bisa ditebak, aku kena pukul dan menangis luar biasa keras. Tapi bocah yang sudah kadung juara itu tidak berhenti menendang padahal aku sudah meringkuk payah di tanah. Sampai ibuk-ibuk di dapur memisahkan kami. Mamak marah-marah sama aku di depan bocah itu dan ibunya. Marah yang masih batas wajar dengan menyebut anak perempuan tidak boleh main kasar dan beberapa hal lain yang aku lupa itu apa, intinya mamak marah. Aku sudah sakit masih kena marah pula, malu. Kami pulang dengan aku yang masih terisak karena perutku perih kena pukul.

Adegan diatas tidak terlalu penting, karena satu memori yang aku ingat mendalam tentang hari itu justru terjadi saat kami sampai di rumah. Di dekat pintu pembatas antara dapur dan ruang tengah. Mamak setengah berlutut, menyejajarkan tingginya dengan tinggiku, mengoleskan minyak tawon pada luka lecet di tanganku dan berkata dengan nada rendah tapi tegas luar biasa..

“Mamak gak suka kamu cari masalah. Tapi kalau sudah kena masalah ya jangan sampai kalah”

“Mamak gak suka kamu nyerah. Mamak gak suka kamu nangis. Mamak suka kamu menang.”

“Kalau ada kejadian seperti tadi lagi, kalau kamu dipukul orang jangan diam saja. Balas.
Jangan mau diinjak-injak.
Kalau sakit, tahan sampai kamu menang.
Mamak gak bakal bela kamu di depan orang lain. Tapi mamak dukung kamu pakai doa, mamak suka anak yang kuat. Mamak marah sama kamu di depan orang-orang, tapi mamak bangga kalau kamu menang.
Mamak suka kamu jadi jagoan. Ngerti?”

Aku mengangguk.

***

Aku hampir menyerah semester lalu. Lebih dari setahun kerja malam dan kuliah secara bersamaan menghancurkan badan dan mentalku habis-habisan. Tapi akhirnya aku masih disini. Di kelas ini, melanjutkan apa yang sudah aku mulai. Aku bersyukur karena Tuhan tidak membiarkanku berhenti di tengah jalan. Lebih bersyukur lagi karena Tuhan tidak membiarkanku terjebak stereotip bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Secara gender aku tau aku perempuan. Tapi aku tidak sepenuhnya “ideal” seperti perempuan yang diharapkan masyarakat ini. Aku selalu berfikir bahwa sifat maskulin yang aku punya menurun dari bapakku. Tapi sepertinya tidak juga. Bapak memang mendidikku untuk jadi manusia kuat secara fisik. Tapi mentalku, mamak yang bertanggung jawab membentuk mental sekeras ini.

Leave a Reply