Konon katanya, dahulu dalam 1 Dusun, 1 Desa bahkan mungkin 1 Kecamatan, hanya boleh ada 1 masjid. Sederhana bentuknya dan berlumut sisi luar dindingnya. Tapi hari tak pernah membiarkannya sepi dan malam tak menjadikannya suram.
Derap-derap kaki melaju bahkan sebelum adzan subuh berlalu. Habis asar ramai anak-anak belajar mengaji. Di teras adik-adik mengeja abata. Di sudut para kakak belajar tartil tilawah. Setiap musyawarah diselesaikan diatas lembaran tikarnya, setiap masalah dibahas melingkar di bawah mimbarnya.
.
.
.
Itu dulu.
Kini tiap desa punya masjid, masjid dan masjid.
Masjid satu hanya berjarak belasan depa dari masjid yang lain. Tiap dusun ingin punya masjid sendiri. Mereka yang kaya punya masjid sendiri. Merasa mulia jika di rumahnya ada masjid pribadi.
Masjid berdiri satu disini, satu disitu, satu lagi disebelahnya. Masing-masing jamahnya ada dua atau satu-satu.
Kumandang adzan tak lagi syahdu,
Ia beradu satu demi satu.
Kalau hikayat cinta gimana kak?
PM aja ya Dek~