Juli 2011.
Malam berpijak pada pukul sembilan. Rombongan kami mulai menapak kaki memasuki jalur New Selo. Sebuah jalur alternatif yang kini menjadi jalur utama pendakian merapi setelah dihantam erupsi pada November 2010 lalu. Mendaki dalam kegelapan malam adalah pilihan logis untuk menghindari resiko hypothermia karena dinginnya malam. Terlebih, menuruni gunung dalam kegelapan malam jauh lebih berbahaya.
Saya dan sebagian pendaki dalam rombongan adalah pemula. Ini adalah pendakian pertama kami. Tak seorang pun dari kami menyangka bahwa ini akan jadi pendakian terberat, bukan karena tingginya gunung, melainkan karena keadaan yang menghadang. Debu-debu putih beterbangan sejauh jarak pandang. Bergerak lembut terbawa angin malam yang menusuk kulit. Hela demi hela nafas beradu lantaran komplikasi antara lelah, dingin dan debu yang menyesakkan. Kami mengencangkan masker dan menyipitkan mata menghalau debu. Sekali dua kali memaki karena tak menyiapkan kacamata.
Dibalik mata yang menyipit, semua terlihat samar. Bayangan pepohonan tak tampak menghitam. Semua tertutup citra abu-abu, perpaduan sinar bulan temaram dan dedaunan yang berselimut debu. Tanah pun licin karena tumpukan fragmen halus yang mengandung silica itu. Tiap pendaki harus berhati-hati saat menapak kaki. Salah langkah bisa berbuah cedera atau minimal ‘badai’ debu untuk pendaki dibelakangnya. Jalur yang kami lewati terjal berbatu, menanjak curam dan berdebu. Kami berkali berhenti sejenak untuk menghindari dehidrasi dan membersihkan tumpukan debu yang mulai mengganggu. Mas Djoko, pemimpin rombongan terus menyemangati dengan kalimat “Kita sampai lima menit lagi!!”–Faktanya kami baru berhenti lima jam kemudian.
Pukul tiga dini hari kami memutuskan untuk beristirahat dan membuat perapian. Sebagian sibuk menghangatkan badan, sebagian lagi tertidur kelelahan. Spot tempat kami berhenti berada tepat dibawah lokasi yang dinamai Pasar Bubrah. Konon, Pasar Bubrah adalah sebuah kawasan dengan banyak bebatuan besar tepat dibawah puncak Garuda.
Saat langit mulai terang, barulah jelas segala yang semalam tampak buram. Keindahan pagi membelai lelah pendakian kami. Membuai mata dengan pemandangan terbitnya mentari dan lautan awan yang berlari.
Tapi itu semua tak mampu menahan rasa ngeri kami pada pemandangan selanjutnya. Pasar Bubrah telah musnah. Batu-batu besar tak lagi ada, hanya tersisa remah-remah batu tajam yang merata datar dibawah puncak Garuda. Terjal, kering dan berdebu. Tak seekor semut pun tampak diantara bebatuan. Satu dua tunas-tunas muda nampak menguncup diujung pohon tua yang merenggas. Menerbitkan harapan kembalinya merapi yang hijau bernas. Air yang mengaliri kerongkongan adalah surga bagi kami yang terpanggang gersang. Pendakian menuju puncak tak ubahnya seperti panjat tebing dengan medan batu-batu tajam dan sedikit aroma belerang.
Saat itu adalah hari dimana tujuh bulan telah berlalu sejak erupsi Merapi pada tahun 2010. Tapi Merapi masih menyisakan nyanyian sunyi yang diceritakan lewat mata para pendaki hari itu. Merapi masih gagah berdiri, menawarkan keindahan yang lahir paska bencana. Alam telah menunjukkan taringnya saat itu. Meluluhlantahkan apa yang dulu perkasa dan menciptakan raksasa baru.
***
lanjutkan
Hm. Ternyata pendaki jg to.