Essay

Shelter, Pengemis dan Pendidikan Karakter

This is not only about owning. This is also about sharing.

Senin pagi di penghujung Februari. Hari pertama kuliah setelah libur panjang semester gasal. Entah karena motif apa, saya sudah berada di kampus pagi ini. Padahal perkuliahan baru dimulai siang nanti. Itu pun masih belum pasti, mengingat nuansa libur seringkali menghambat produktivitas di hari pertama masuk kuliah. Untungnya, kampus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) , UNS, punya banyak tempat serba guna. Komplek Shelter di tengah area kampus FKIP misalnya.

Arti nama shelter sebenarnya merujuk pada tempat perlindungan yang biasa ditemui di wilayah rawan bencana. Sementara shelter yang ada di area kampus FKIP UNS  adalah kumpulan gazebo minimalis sebagai sarana penunjang aktifitas mahasiswa di luar kelas.  Bisa jadi nama shelter  dipakai karena tempat ini adalah tempat berlindung dari sengatan matahari. Tak tahu siapa yang memulai menyebutnya dengan nama shelter, tapi mahasiswa kampus FKIP UNS  sudah terlanjur akrab dengan istilah ini. Dan disinilah saya menghabiskan Senin pagi ini.

Ada peristiwa wajar sekaligus langka yang saya temui pagi ini. Seorang ibu tua pemulung tampak memungut sampah botol mineral yang sebelumnya luput dari sapuan petugas kebersihan. Setelah itu ia berjalan mendekati salah satu shelter,  tempat seorang mahasiswa sedang fokus pada layar notebook-nya. Si ibu menengadahkan tangan. Tampaknya selain memulung, ia juga mencari peruntungan dari mengemis. Gayung bersambut, mahasiswa itu merespon dengan uang kertas yang ia tarik dari saku celananya. Hanya hitungan detik sebelum uang itu sampai di tangan si ibu, sebuah bentakan keras satpam kampus sukses memupuskan rejekinya pagi ini. Si satpam datang mendekat dan meminta ibu itu pergi, sementara si mahasiswa ditegur untuk tidak memberi lagi jika ada pengemis di area kampus. “Mengko dewe’e tuman, malah bali rene terus!—nanti dia ketagihan dan kembali terus kesini! ” ujar si satpam sambil berlalu.

Biasanya, pengemis dan pemulung memang sering terlihat di area kampus tanpa ada yang menegur. Ini adalah kejadian langka saat satpam kampus dengan terang-terangan bertindak seperti itu. Mungkin beberapa mahasiswa kampus FKIP  juga pernah menemui atau mengalami kejadian macam ini. Pasalnya, memang ada aturan bahwa pemulung dan pengemis dilarang masuk kampus. Karena itu teguran yang dilakukan satpam adalah suatu kewajaran. Tidak ada yang salah dalam peristiwa tersebut. Si ibu tidak sepenuhnya salah karena ia hanya berusaha mengais rejeki. Mahasiswa itu tidak salah karena dia hanya berniat menolong. Satpam juga tidak salah karena ia hanya menjalankan tugas dan menegakkan aturan. Masalahnya adalah : kenapa pemulung dan pengemis dilarang masuk kampus?

Ketika muncul pertanyaan ini, jawaban rasional harus ada untuk melengkapinya. Alasan yang sering saya dapatkan : karena keberadaan pemulung dan pengemis dianggap mengganggu ketertiban kampus serta mengganggu perkuliahan. Faktanya, pemulung dan pengemis tidak mungkin masuk ruang kelas atau berkeliaran di lorong dan lobi gedung. Sehingga tidak mungkin pula mengganggu perkuliahan atau ketertiban kampus. Sebenarnya, alasan ini tidak cukup kuat untuk melarang mereka mencari rejeki di area kampus. Meski universitas juga masuk kategori instansi pendidikan, tapi tak bisa disamakan dengan SD, SMP atau SMA.

Universitas adalah alasan bagi mereka yang berjuang untuk mendapatkan tempat layak di masyarakat.  Karena itu, kampus harus jadi pijakan awal, tentang bagaimana mahasiswa bersikap dalam masyarakat. Dengan mengusir pengemis dan pemulung, itu kah cara tepat untuk bersikap dalam masyarakat ?

Alasan lain yang keluar dari celetukan teman : mungkin karena kampus ini sedang berbenah menuju World Class University , juga karena FKIP adalah tempat kuliah anak-anak berkarakter kuat dan cerdas. Ini adalah tempatnya kaum berpendidikan, tempatnya para cendekiawan, tempat para generasi  pelopor kemajuan bangsa. Sehingga adanya pengemis dan pemulung dianggap tidak pantas serta merusak ‘pemandangan’ di kampus prestisius ini.  Bukan hanya dia, tapi beberapa individu termasuk saya juga pasti sempat berfikir demikian. Alasan ini bisa diterima oleh akal, tapi tidak bisa diterima oleh nurani.

Pendidikan bukan hanya tentang nilai akademis, tapi juga tentang membentuk karakter individu. Hal ini yang sedang jadi perhatian dunia pendidikan saat ini : pendidikan karakter. Banyak seminar, talkshow, dan diskusi yang ditujukan untuk mencari metode pendidikan karakter. Masih jadi perdebatan perkara metode dan materi macam apa yang tepat untuk  mendidik karakter anak serta membentuk kepribadian yang kuat dan cerdas. Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa karakter, kepribadian dan kepekaan sosial  seseorang  tidak dibentuk di ruang kelas. Kepribadian dan karakter terbentuk saat seseorang terjun langsung ke masyarakat, berhadapan langsung dengan permasalahan sosial. Salah satunya disini, shelter, tempat para mahasiswa menghabiskan waktu jeda kuliah mereka. Di sini tempat para mahasiswa sekedar duduk, memanfaatkan fasilitas hotspot, membahas berbagai hal dari materi kuliah, hingga hasil pertandingan di Champion League malam tadi. Komplek shelter adalah miniatur kehidupan sosial mahasiswa FKIP.

Dengan demikian sebenarnya kita telah memiliki inkubator pendidikan karakter. Biarkan pengemis  berkeliaran di area kampus. Biar para mahasiswa melihat langsung wajah-wajah renta yang untuk bertahan hidup, memilih merendahkan diri dihadapan orang lain. Biarkan para mahasiswa mengambil tindakan dalam menghadapinya. Apakah mereka akan membagi sedikit rejekinya atau justru sibuk dengan laptopnya. Biarkan pemulung mengais rejekinya di area kampus. Biar para mahasiswa melihat langsung bagaimana sampah botol mineral yang baru saja mereka buang, justru menjadi sumber penghidupan bagi orang lain. Tak ada jaminan pendidikan kecil ini akan berhasil. Tapi setidaknya di kampus mahasiswa tidak hanya menemui sarana untuk mengasah otak, tapi juga sarana untuk mengasah kepekaan sosial dan kesadaran terhadap tanggung jawabnya sebagai orang  berpendidikan.

Sedikit mengutip kata-kata Pramudya Ananta Toer melalui tokoh Jean Marais dalam buku Bumi Manusia, “Kau terpelajar, Minke. Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan”. Kata-kata ini harusnya mampu menggelitik telinga kaum terpelajar, bukan hanya Minke, tokoh utama dalam buku ini. Kutipan ini menyiratkan karakter yang harus dimiliki orang terpelajar. Orang berpendidikan. Bertindak adil bukan hanya perkara memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah, atau siapa yang pantas dan siapa yang tidak. Adil adalah tentang membagi kelebihan yang kita terima untuk mengurangi kekurangan orang lain.

Mahasiswa adalah The  few happy people kata aktivis ’65, Soe Hok Gie. Hanya sedikit pemuda yang beruntung  menggapai bangku kuliah sementara banyak pemuda lain di negeri ini tak mampu meraihnya. Keberuntungan ini adalah keadilan yang kita terima. Tapi keadilan ini tidak gratis. Ada kewajiban dan tanggung jawab moral yang dipikul oleh siapapun yang mengaku dirinya berpendidikan. Yaitu untuk membangun negeri ini dan memberi meski hanya sedikit keberuntungan dan keadilan untuk mereka yang membutuhkan. Disitulah karakter dan nilai guna kaum berpendidikan di uji. Apa yang diharapkan dari pendidikan bukan hanya untuk memiliki gelar, jabatan dan identitas. Tetapi juga supaya mereka yang berpendidikan mampu memberi kontribusi lebih bagi kehidupan.  That is the reason why our life is not only about owning, but it is also about sharing.

Amanda Veranita

(tulisan ini awalnya untuk rubrik catatan pinggir buletin AK47 edisi terakhir kepungurusan lalu, salah satu produk LPM Motivasi . Tapi gagal cetak..hehe…hiks )

Leave a Reply