Pada masanya, sulit menemukan orang Asia Tenggara yang mampu menyamai Pattingaloang.
Pada abad ke-17 di belahan timur Nusantara, berdiri sebuah kerajaan maritim yang namanya tenggelam oleh kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Kerajaan tersebut sejatinya merupakan gabungan dari dua kekuatan kerajaan, Gowa dan Tallo. Keduanya terlibat perang selama bertahun-tahun. Perang tersebut berakhir dengan perjanjian damai dan penggabungan dua kerajaan. Kerajaan baru ini kemudian berpusat di wilayah Makassar. Pemimpin Gowa menjadi raja utama, sementara pemimpin Tallo menjabat perdana menteri. Kerajaan ini digambarkan dengan ungkapan sereji ata, naruang karaeng—satu rakyat, dua raja. Kerajaan ini kemudian berkembang menjadi bandar niaga internasional dengan kekuatan politik ekonomi di wilayah timur Indonesia. Anthony Reid menyebutnya sebagai kisah sukses paling cepat dan spektakuler dalam catatan sejarah Indonesia.
Tersebutlah Karaeng Pattingaloang, Ia lahir dan tumbuh dimasa-masa awal Islam menyebar di Gowa-Tallo. Putra Karaeng Mattoaya, perdana menteri pada masa Sultan Alauddin berkuasa. Setelah memeluk Islam, Karaeng Mattoaya lebih dikenal dengan nama Sultan Abdullah. Karaeng Mattoaya begitu tersohor dengan pemikirannya yang terbuka dan kemampuan bahasa asingnya. Ia memiliki perpustakaan kecil dengan buku-buku dari Eropa. Nama Mattoaya dikenang sebagai pahlawan besar, pembaharu yang mengubah Gowa-Tallo menjadi kerajaan Islam serta peletak pondasi kejayaan Makassar kala itu.
Pattingaloang adalah putra kedua Mattoaya. Ia menghabiskan masa mudanya dengan melahap buku-buku asing koleksi sang ayah. Ia menunjukkan hasratnya pada berbagai bidang keilmuan. Alexander de Rhodes, seorang misionaris untuk Makassar kala itu menyebutkan betapa besar rasa ingin tahu dan ketertarikan Pattingaloang pada kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan barat. Baik Rhodes dan para pendatang itu tak pernah tinggal cukup lama untuk mengajari segala hal. Namun, Pattingaloang belajar sendiri dengan melahap semua buku-buku. Sejak umur belasan ia telah merepotkan para pendatang Eropa dengan menunda-nunda waktu kepulangan mereka. Sekadar merajuk agar mereka bersedia mengajarinya lebih banyak hal tentang dunia yang terbentang ribuan kilometer dari kerajaannya.
Pattingaloang akhirnya menggantikan posisi ayahnya sebagai perdana menteri. Sebagaimana ayahnya yang dikenal sebagai pahlawan besar di Makassar, Pattingaloang juga melanjutkan nama besar tersebut. Pembagian kekuasaan yang efektif masih berlangsung selama Sultan Muhammad Said berkuasa di Gowa. Pattingaloang memegang peranan penting dalam urusan diplomatik serta pengembangan bidang teknologi dan militer. Anthony Reid, menyebutnya sebagai orang asia tenggara pertama yang memahami pentingnya matematika pada ilmu-ilmu terapan demi peningkatan kemakmuran maritim kerajaannya. Hadiah-hadiah seperti buku-buku langka, kompas maupun aneka barang hasil kemajuan teknologi amat disukainya dan semua pendatang dari Eropa mengetahui hal ini. Pattingaloang sangat fasih berbahasa Melayu, Portugis dan Spanyol. “Jika orang mendengarnya berbicara tanpa melihat langsung orangnya, orang bisa menyangkanya orang Portugis asli karena ia memakai bahasa ini sefasih orang-orang dari Lisbon” kata Rhodes sebagaimana dikutip Anthony Reid dari Hertz dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah pemetaan.
Obsesinya pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menjadikan namanya tersohor di Eropa. Pada tahun 1644, Pattingaloang mengirim muatan penuh dengan kayu cendana guna membeli barang-barang langka seperti 2 buah bola dunia, selembar mappamundi—peta dunia berukuran raksasa, serta atlas dalam Bahasa Latin, Spanyol, dan Portugis. Sebuah bola dunia tembaga dan peta tersebut akhirnya menjadi koleksi perpustakaannya. Pada masa jabatan Pattingaloang, berlangsung penerjemahan naskah-naskah asing. Naskah persenjataan berbahasa spanyol rampung diterjemahkan dengan lengkap pada tahun 1652. Di tahun yang sama sebuah teleskop galileo tiba di Makassar. Tepat hanya 43 tahun setelah teleskop pertama dibuat dan masih sangat sedikit digunakan di Inggris. Pengejaran teknologi renaisance ini dibayar dengan sangat mahal oleh Makassar, bahkan tak sanggup dilunasi hingga wafatnya Sultan Muhammad Said dan Pattingaloang sehingga teleskop tersebut terpaksa dikembalikan ke Inggris.
Kepandaian dan kearifan politiknya diakui oleh bangsa-bangsa Eropa. Ia menyambut seluruh pendatang dengan tangan terbuka tanpa memandang dari bangsa mana mereka berasal. Masa hubungan dagang damai antara Portugis-Makassar-Belanda, tak lain adalah berkat jasanya. Para missionaris Eropa begitu berhasrat untuk menjadikannya pengikut kristus. Pengaruh serta kebijaksanaannya akan menjadi tolak ukur besar dalam kristenisasi di seluruh Kerajaan. Meski para missionaris itu begitu yakin hanya tinggal selangkah lagi misi mereka berhasil, tapi hingga akhir hayatnya Pattingaloang tak berpindah keimanan. Reid menuliskan bahwa sangat sedikit tokoh kreatif dalam sejarah Indonesia. Di Sulawesi Selatan, golongan yang sedikit itu diwakili oleh Karaeng Mattoaya dan Pattingaloang. Pada masanya, sulit menemukan orang Asia Tenggara yang mampu menyamai Pattingaloang. Ia setara dengan tokoh nasional lain di abad ke-17.