Puasa tahun ini godaannya banyak yaa. Mulai dari pilpres sampai piala dunia. Piala dunia tahun ini lumayan lah yaa. Saya bukan fanatik sepak bola sih, tapi lumayan suka nonton pertandingan-pertandingannya. Setidaknya banyak kejutan di piala dunia tahun ini. Salah satu yang paling menarik perhatian saya di World Cup 2014 adalah : Messi.
Saya bukan penggemar Messi, dan tulisan ini juga dibuat dengan kacamata orang awam. Tapi semua orang pasti bisa merasakan bahwa final World Cup tanggal 14 Juli kemarin itu pasti jadi moment paling ‘nyesek’ untuk para pendukung Argentina. Setelah defense yang cukup solid sepanjang pertandingan, mereka kebobolan di menit ke 115 extra time.
Tak lama setelah pertandingan berakhir, twitter pun dipenuhi caci maki yang ditujukan untuk Messi. Mulai dari ia yang gagal menyempurnakan eksekusi tendangan di menit 123, tentang ia yang hanya akan jadi bayang-bayang Maradona, tentang ia yang jadi idola eropa tapi tak bisa sumbangkan apa-apa untuk negaranya, hingga rentetan protes yang menilai ia tak pantas mendapatkan penghargaan golden ball.
Pertanyaannya, kenapa?
Kenapa hanya Messi yang harus menanggung semua caci maki, sementara ia tidak maju sendiri hingga ke final. Bukan hanya Messi pemain yang timnya gagal di final, banyak. Tapi mengapa hanya Messi yang menerima perlakuan semacam ini?
Saya tak tahu istilah apa yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada Messi. Ia adalah pemain dengan daftar kemenangan terbanyak. Ia adalah pemain dengan deretan penghargaan terbanyak, ia adalah pahlawan bagi jutaan pendukung barcelona FC. Dan ia adalah pemain yang menerima kritikan paling banyak.
Kenapa?
Selama belasan musim, Messi telah menjadi media darling. Hampir setiap minggu dalam pertandingan yang melibatkan barcelona, para penggemar bola disuguhkan dengan ‘keajaiban’ yang tercipta melalui Messi. Selama 14 tahun bersama Barcelona FC, ia hanya mengoleksi daftar prestasi tanpa cela. Bahkan setelah melewati masa rehabilitasi cidera, ia masih menunjukkan bahwa dirinya belum ‘mati’. Ia masih berprestasi. Setiap musim, berita-berita tentang kemenangannya memenuhi media. Setiap akhir pekan para penonton disuguhi penampilannya, lagi dan lagi.
Ia terlalu sering menang, sementara banyak yang membenci pemenang. Ia terlalu sering dipuja, hingga banyak yang iri akan semua puja-puji untuknya. Ia terlalu lama berada di puncak tertinggi, dan para pembencinya mulai menunggu kapan ia jatuh, kapan ia membuat kesalahan—yang akhirnya ia lakukan.
Publik yang mencaci itu mungkin jenuh dengan pemberitaan tentangnya lagi dan lagi. Tentang kemenangannya yang terus dan terus. Mereka menanti suatu hari dimana Messi melakukan kesalahan yang mampu menjadi alasan untuk menghancurkan mentalnya. Dan final world cup 2014 adalah peluang menyenangkan bagi para pembencinya—yang mayoritas adalah fans dari klub-klub yang pernah Barcelona kalahkan.
Bukankah beberapa dari kita juga pernah merasakan hal yang sama dengan Messi? Saat semua yang kita lakukan selalu salah di mata orang lain. Saat kita dibenci tanpa alasan. Saat orang-orang yang tak kita kenal mulai ikut mencaci maki. Saat mereka membenci bukan karena kita membuat kesalahan. Tapi karena kita adalah kita.
“Somehow.. I feel like I am Lionel Messi. Some people hate me not because I did something wrong. They hate because the way who I am.”
*OK. Ini curhat -_-
Wiiddiiihhh.. Makaseh… 😉