Mitologi masa lampau selalu sukses mengikat kita pada cinta sejati yang semu. Malam ini sedikit diskusi sama Dani. Adik romantis yang kadang blo’on tapi jenius. Banyak dongeng-dongeng, mitologi, yang menyesatkan pola pikir kita. Cerita-cerita Disney yang menuntun pada stigma “hanya wanita cantik dan pria tampan yang bisa bahagia”. Dulu seorang teman juga menulis di blognya tentang kisah sleeping beauty yang tak lebih dari cerita pangeran mesum yang seenaknya ‘nyosor’ putri cantik yang sedang tidur. Aku rasa memang sudah saatnya meletakkan logika peristiwa.
Sering kali muncul pertanyaan mengapa percintaan Rama-Shinta tak pernah sukses menyentuh rasa haru. Aku rasa bukan karena dalang yang gagal mentransfer ilmu. Bukan juga karena bapak yang selalu merubah kisah tragedi menjadi komedi. Mungkin karena cinta Rama dan Shinta itu tak seindah semestinya. Banyak versi epik Ramayana yang beredar di masyarakat. Ditulis dalam berbagai buku, berbagai bahasa, berbagai kisah. Semua mengarah pada alur yang sama, Rama-Shinta jatuh cinta, menikah, diasingkan kehutan, Shinta diculik rahwana, rama merebut shinta, rahwana mati.
Nilai moralnya : kebaikan selalu menang diatas kejahatan.
The end
Tapi logika rasa semestinya bisa menggali lebih dari itu. Rahwana telah berhasil mendapatkan Shinta, meski bukan hatinya. Jika Rahwana memang seorang keturunan raksasa yang bukan hanya buruk rupa, tapi juga buruk hatinya, bengis, kasar, kejam dll… mengapa ia tak ‘menyentuh’ Shinta. Tak satupun versi epik Ramayana yang menceritakan tentang Rahwana yang memperkosa Shinta, memperlakukan Shinta dengan tidak senonoh, melecehkan Shinta. Rahwana justru berusaha menyenangkan Shinta, memberikan segala yang terbaik untuk menyenangkan pujaan hatinya. Rahwana berjanji tak akan menyentuh Shinta sebelum ia berhasil menyentuh hati sang juwita. Itu baru namanya pria.
Bagaimana dengan Rama?
Rama dan Shinta mungkin saling mencintai. Tapi lihat apa yang diperbuat Rama setelah Shinta kembali bersanding dengannya. Rama meragukan kesucian Shinta. Rama meminta Shinta melakukan upacara pembakaran diri. Meminta pengorbanan wanita yang mengasihinya dengan kesetiaan yang tanpa henti.
Meminta wanita yang disebutnya sebagai istri menjatuhkan diri ke dalam api. Dalam versi cerita yang terpahat di relief candi prambanan, Rama justru mengusir Shinta yang hamil, tak lama setelah ia kembali kepelukan Rama. Akhirnya Rama mengakui kesucian Shinta saat ia menemukan anak kandungnya dengan Shinta disebuah pertapaan. Namun, sayangnya Shinta sudah mati dalam kepedihan. Karena diusir oleh suami yang begitu dicintainya ke tengah hutan. Lalu Rama menyesali apa yang telah ia lakukan.
Hah!! Suami macam apa itu (‘-_-)
Untuk apa Rama repot-repot mengerahkan pasukan kera, garuda, manusia dan lain sebagainya untuk menyerang Alengka? Untuk apa ia merebut kembali Shinta jika pada akhirnya meragukan kesetiaannya?
Lebih masuk akal jika serangan besar-besaran dari Rama, hanya bermakna unjuk kekuatan saja. Rama seolah ingin membuktikan bahwa ia lebih kuat dari Rahwana, raja yang kala itu tiada tanding kuasanya. Rama merebut Shinta juga bukan untuk menyelamatkan cinta sejatinya lagi. Rama merebut Shinta agar ia bisa menyiksa Shinta dengan tangannya sendiri. Menyiksa istri yang dianggapnya mbalelo karena tinggal bersama pria lain.
Karena itu jika aku harus jatuh cinta, daripada mencintai Rama yang tampan, raja kaya, ksatria, suami idaman yang pengecut dan tak tahu diri. Lebih baik Rahwana. Sang pecinta sejati.
Wajar juga jika aku lebih mencinta Rahwana yang jahat, keras kepala, nakal dan bandel. Toh “a gentle-bad guy” memang lebih seksi dan menawan ketimbang “a hypocrite-good guy”.
josh