Monolog

Bicara soal Kematian

Ngomong-ngomong…

Saya itu takut mati. Sangat-sangat takut mati. Hingga kelas 2 SMP saya slalu menutup mata tiap lewat pemakaman. Karena sekali lihat, saya akan langsung menangis saking takutnya. Jangankan siksa kubur, membayangkan raga ini dibungkus kain kafan saja sudah membuat nafas saya tercekat—bahkan jemari saya gemetar menulis kalimat ini.

Beberapa tahun lalu saya membaca sebuah cerpen yang dimuat di Koran Tempo. Judulnya ‘Mati Sunyi’. Tentang kematian seorang aktifis HAM yang menjadi dukacita bagi dunia, tapi hanya kehilangan sunyi bagi para tetangganya. Pasalnya si jenazah tak pernah bergaul dengan tetangga. Ia sibuk mengurusi dunianya diluar sana. Bagi kampung halamannya, ia sudah lama mati. Saat jenazahnya disemayamkan pun, tak ada seorang tetangga yang melayat. Si penutur kisah menyebutnya sebagai ‘mati sunyi’.

Dulu saya pikir itu kematian paling menyedihkan, terlebih saya merasa juga jarang bergaul dengan tetangga. Akan sangat memilukan kalau saya juga mengalami mati sunyi. Tapi sekarang pemikiran saya tentang kematian bukan lagi perkara ada yang melayat atau tidak. Soalnya kalau kita mati, Kita tak punya urusan dengan pencitraan lagi kan yak?

Disalah satu kajian hadist yang berhubungan dengan materi Janaiz—Jenazah dan segala hal tentang kematian—ada cerita singkat tentang Ustman bin Affan yang menangis tiap kali matanya bertemu dengan pemakaman. Ia menangis sejadi-jadinya. Tapi Ustman bukan menangis karena takut pocong macam saya. Saat ditanya mengapa ia berlaku demikian, Ustman menjawab,

“Tempat itu (alam kubur) adalah penentu. Jika baik ia, maka baik pula berikutnya. Jika buruk ia, maka buruk pula berikutnya.”

Baiklah. Masalah siksa kubur ini sudahi saja. Saya belum siap bicara banyak dan bukannya takut di cap sok religius. Saya tak berani memikirkan siksa kubur saking takutnya. Kalau kebetulan kita bertemu, saya juga tidak berniat ngobrolin soal kematian—Yaaiyalah.

Percaya atau tidak. Dikota Kediri saya pertama kali melakukan sholat jenazah. Beberapa bulan lalu. Almarhum yang semoga mendapat lindungan Allah itu bernama Rizal Nauval Abdullah—anehnya saya masih ingat namanya. Dia seorang santri asal Malaysia yang meninggal lantaran sakit. Saya menangis dari mulai jenazah dibawa masuk mesjid, disholati hingga dijunjung menuju mobil jenazah yang membawanya pergi. Padahal saya tidak mengenalnya. Wajahnya macam apa pun saya tak tahu.

Saya takut mati. Sangat-sangat takut mati. Dan masih takut mati. Tapi untuk pertama kalinya juga saat itu, hati saya berharap dan otak saya berani membayangkan..seandainya saya mati. Saya ingin kematian seperti kematian yang saya saksikan saat itu. Sebagai musafir penuntut ilmu—ilmu agama tentu akan jauh lebih baik. Disholati oleh mereka yang menyolati karena mengharap pahala Allah, tanpa paksaan—dan insyaallah mendoakan dengan sebaik-baiknya doa walaupun kita tak saling kenal. Kalau boleh kuburan saya jangan dipasangi kijing, nisan marmer atau semacamnya. Tak masalah kalau tak ada yang mengunjungi makam saya. Daripada taburan bunga, saya lebih suka taburan pasir putih sebagai penanda makam saya.

Baiklah. Kenapa tulisan ini malah ngelantur jadi macam wasiat. Duuh..saya belum siap mati. Well, saya juga gak berencana mati dalam waktu dekat sih, dan semoga tidak. Tapi siapa tahu toh? Soalnya yang acc proposal rencana kematian saya bukan saya sendiri.

Sekian.

3 thoughts on “Bicara soal Kematian”

  1. aku ga takut lewat kuburan or menyolatkan orang meninggal aku takut pas mau tidur aja. takut ga bangun.. tiap sebelum tidur selalu was-was. i know, kalo orang “bersih” (u no wat ai min) pasti ga takut mati, yah aku belum “bersih”.

Leave a Reply