Dia (Yusuf) berkata ‘Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan pada tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan.[QS.12:47] “Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang sangat sulit yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya. Kecuali sedikit dari apa(bibit gandum) yang kamu simpan.” [QS.12:48]
Demikian jawaban Yusuf untuk menafsirkan mimpi sang penguasa mesir. Cerita ini begitu tersohornya dan tercatat baik dalam Al Quran maupun Alkitab, sehingga saya pikir saya tak perlu membeberkan cerita rincinya di tulisan ini. Tulisan ini juga bukan bermaksud sok menafsirkan kok. Ini juga bukan tafsiran sih. Semua yang saya tulis disini didasari rasa penasaran dan iseng semata.
Kebetulan salah satu konten skripsi saya menyandingkan kisah yusuf dalam Al Quran dan Alkitab. Jadi sekalian dapat ide gitu. Semacam sambil menyelam, minum air…atau makan oreo kayaknya lebih enak.
Ini metode swasembada pangan ala nabi Yusuf. Intinya cuma satu : ngirit.
Dalam Alkitab, pada Kitab kejadian XLI:45-XLII:38, diterangkan lebih rinci bagaimana Yusuf, setelah mendapat mandat dari Firaun, melakukan semacam blusukan ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mensosialisasikan program pengiritan pangan ini.
Disaat musim tanam, gandum ditanam dan menghasilkan seperti biasa. Yang tidak biasa, hasilnya tidak serta merta dihabiskan begitu saja sebagaimana adat konsumtif: sekali dapat, sekali habis. Melainkan dimakan secukupnya, dan sisanya disimpan tanpa membuang tangkainya—hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas biji. Dengan tetap menempel pada tangkainya dan mengering bersama, biji tetap terjaga kadar air dan lebih awet kadar gulanya. Selain itu tentu saja supaya awet dan lama masa simpannya (saya pernah membaca artikel tentang petani-petani di daerah Banten dan Sukabumi yang masih menggunakan metode ini, mereka menyebutnya Leuit).
Selain harus ada hasil panen yang disimpan untuk keluarganya sendiri, para petani di wilayah Mesir juga menyiapkan seperlima dari hasil panen untuk diserahkan pada pemerintah sebagai simpanan nasional.
Hal tersebut dilakukan selama tujuh tahun hingga datanglah tujuh tahun paceklik. Cadangan makanan yang dikumpulkan selama tujuh tahun akhirnya menunjukkan manfaatnya. Bukan hanya itu, mesir juga membuat gebrakan swasembada pangannya, karena bukan hanya cukup untuk warga negaranya, cadangan pangan tersebut juga cukup banyak untuk dijual pada negara lain. Banyak warga negara lain yang datang ke Mesir untuk membeli gandum—yang kemudian membuka takdir pertemuan Yusuf dengan keluarga lamanya.
***
Gara-gara efek macan asia di kampanye tahun lalu, saya kembali mengingat bahwa Indonesia memang pernah mengalami masa keemasan dengan mencapai swasembada pangan. Tepatnya terjadi di masa pemerintahan presiden Soeharto. Bangga? Tentu saja. Tapi kalau mau belajar sejarah, dibalik pencapaian sesuatu yang membanggakan itu, ada banyak aspek yang harus dikorbankan.
REVOLUSI HIJAU. Konon katanya—Cuma denger doang sih dari guru pamong waktu saya magang—sempat ada kerancuan, apakah materi ini sebaiknya dimasukkan dalam mapel biologi atau geografi. Tapi di kurikulum KTSP, materi ini dipelajari di mapel sejarah untuk kelas XII IPA. Err,, baiklah, cukup solutif.
Revolusi Hijau adalah program ambisius untuk mewujudkan swasembada pangan di negara-negara berkembang. Pelopornya adalah Norman Borlaug–kalau tak salah. ide dasarnya dengan merombak sistem pertanian tradisional menuju sistem pertanian modern untuk meningkatkan produksi pertanian. Bibit-bibit pangan kita dikirim ke Lembaga riset di Filipina untuk kemudian dikembangkan menjadi bibit unggul. Kerbau dan sapi diganti traktor. Kompos diganti dengan pestisida dan obat-obatan. Di Indonesia, revolusi hijau dikenal dengan nama BIMAS (Bimbingan Masyarakat). Pemerintah mulai membuka peluang kerja baru didunia pertanian guna memfasilitasi pembinaan dan sosialisasi penggunaan teknologi baru tersebut pada para petani. Pekerjaan baru ini disebut: Penyuluh Pertanian.
Hasilnya: Swasembada pangan.
Lalu apa yang dikorbankan?
Bibit unggul memang menghasilkan panen melimpah dengan umur tanaman yang pendek. Pestisida dan pupuk kimia pun turut membantu melindungi tanaman sehingga hasilnya lebih maksimal. Jangan lupa dengan keberadaan traktor yang mempercepat proses olah tanah. Ucapkan selamat datang pada efisiensi dan modernitas ini.
Ucapkan selamat datang pula pada hasil panen yang tak bisa diregenerasi menjadi bibit lanjutan, sehingga petani harus membeli bibit baru tiap musim tanam tiba. Selamat datang pada mutasi hama sehingga dosis kimia terus ditambah dari waktu ke waktu. Selamat datang pada tanah yang sakit karena zat haranya diperas secara berlebih demi hasil panen yang maksimal. Selamat datang pada kerusakan lingkungan dan varietas hayati karena penggunaan bahan-bahan kimia. Selamat datang juga untuk ketergantungan petani terhadap bahan bakar minyak. Selamat datang pada kesenjangan sosial karena revolusi hijau hanya menguntungkan bagi petani yang memiliki lahan minimal seluas setengah hektar. Terakhir, ucapkan selamat datang untuk tahun-tahun yang menyesakkan bagi para petani karena tanah tak lagi mudah diolah dan teknologi-teknologi modern yang tak lagi murah dikantong.
Bukan berarti saya mau bilang bahwa metodenya nabi Yusuf lebih baik daripada revolusi hijau. Revolusi hijau gak buruk juga sih, jaman semakin modern dan hanya masalah waktu hingga petani-petani kita tersentuh modernisasi. Terlebih bapak saya adalah seorang penyuluh pertanian, secara tidak langsung saya bisa sekolah tinggi karena peluang kerja yang dibuka revolusi hijau. Kita berada di jaman yang berbeda dengan nabi Yusuf dan segala sesuatunya sudah terjadi. Jadi ini fungsinya kita belajar sejarah: untuk mengambil kesimpulan. Segala yang berlebihan memang tidak baik. Tapi rasanya agak susah juga untuk kembali ke metode nabi yusuf karena kini semua serba terburu-buru—Buru-buru mau jadi kaya dan kecukupan maksudnya.
Eh. Apa tadi sudah saya sebutkan ucapan selamat tinggal untuk swasembada pangan yang hanya bertahan selama 5 tahun (1984-1989)?
***