Monolog

Sebutir Nasi di Malam Minggu

Prolog.
Sejak lima bulan lalu ada yang tidak beres dengan lambungku. Aku tidak bisa makan nasi dalam porsi besar lagi. Oh No! porsi ‘normal’ pun tidak. Cepat kenyang. Lambungku bisa menampung lebih jika dipaksa, tapi berujung masalah akhirnya. Dokter bilang cuma perkara metabolisme saja, lambungku tidak bisa lagi menyerap karbohidrat dengan baik. Efek begah dan mual muncul, walau tidak sampai muntah. Tapi tubuhku masih butuh. Jadi aku harus makan sedikit-sedikit dan sering. Sejak itu porsi makanku terpangkas separuh lebih. Aku lebih banyak makan di RM prasmanan supaya bisa ambil porsi nasi sendiri. Momen yang bikin aku benci karena hampir setiap orang bertanya apa aku sedang diet. Mereka yang sinis sama berat badan, malah aku yang dituduh insecure?

Aku mulai terbiasa dengan pola makan super sedikit itu. Secara tidak sadar–dan sudah jadi kebiasaan–aku mulai menggunakan alasan di atas sebagai pembenaran untuk menyisakan makanan, bermubazir dan berteman dengan setan.

***

Malam Minggu ini niatnya aku mau gulung-gulung saja di kamar, sampai akhirnya masuk WA dari Bunbun, memenuhi janji ketemu yang sempat tertunda kemarinnya. Keluarlah aku sekalian makan. Karena aku sedang berhasrat sama yang pedas-pedas, mampirlah kami berdua ke dirty chicks–semacam outlet ayam geprek fastfood paketan. Di jalan sudah kepikiran mau ngobrol banyak sama Bunbun sebagai sesama makhluk CRCS stadium thesis. Topik penelitian kami sebelas duabelas. Eh, otak kami juga kayaknya sebelas duabelas sih….gilanya.

Sampai outlet aku langsung pesan makan dan Bunbun heboh sendiri, ternyata ada Jenny.
Aduh!! Dari semua orang kenapa harus Jenny…

Jenny adalah anak perempuan paling manis di Batch kami. The first time you meet her then your mind will be locked to one word: innocence. Dia adalah aktivis piring bersih. Itu sebutanku buat orang-orang yang concern banget sama isu efisiensi makanan. Prinsipnya ‘kamu gak boleh buang-buang makanan’. Di tiap acara makan bersama, piring Jenny adalah yang paling bersih. Selama aku kenal Jenny, dia adalah orang yang jarang mengeluh, menegur atau marah, kecuali kalau dia lihat ada yang menyisakan makanan di piring.

Dan aku lupa pesan nasi setengah porsi. Cobaan apakah ini Tuhan?

Kami bergabung di meja Jenny–tentu saja. Ada kenalan Bunbun juga duduk bersama Jenny, mereka panggil dia Kak Ahmad. Tiga kata tentang orang ini: bugis, kriwil, aktivis. Mereka bertiga gabung di YIPC–semacam organisasi pemuda yang fokus di bidang edukasi perdamaian dan lintas agama setahuku. Dari sepintas obrolan tentang sedotan plastik dan steel, sadarlah aku orang ini juga concern sama isu lingkungan dan ‘limbah’. Mampuslah kau Amandaaaa. Double Kill..!!

“Tapi ya aku tersentuh waktu baca tulisan di Tirto pas ramadhan kemarin, bahwa limbah paling besar itu sebenarnya dihasilkan oleh makanan”, kata si kriwil ini bikin aku berhenti mengunyah sebentar. Firasatku gak enak. Sumpah.

Dia merujuk pada sebuah artikel yang dirilis kanal Tirto.id pada bulan puasa tahun ini. Jadi inti artikelnya adalah betapa jumlah limbah makanan di bulan puasa justru amat sangat bertentangan dengan semangat dan fitrah puasa itu sendiri. Begitu mudahnya membuang makanan dan begitu disepelekan dampaknya. Mengapa artikel itu begitu kuat? Karena simpulan premisnya berasal dari formula matematika paling sederhana.

“Seandainya seorang penduduk Indonesia menyisakan sebutir nasi saja dalam satu kali makan, ada 249 juta butir nasi yang terbuang sia-sia. Jika satu gram beras berisi 50 butir, ada 4.980 kg beras yang terbuang tiap hari,” (Dan jumlah ini bisa kasih makan berapa perut coba).

“Dampak terburuk dari sampah makanan itu: selain kerusakan lingkungan, peningkatan gas metana, dan pemborosan, adalah ancaman krisis pangan.”

Aku tertegun dengan hitungan asal yang cukup ‘menampar’ nalar ini. Saat obrolan berganti topik, saat itu juga perutku mulai protes. Menjerit minta berhenti diisi nasi. Aku tahu perasaanmu wahai tetangganya pankreas, tapi mengertilah harga diriku menolak keras-keras. Di sampingku Jenny dan mas-mas di depan ini baru saja ngomongin limbah sisa makanan. Menurutmu perasaanku gimana? Ha?!
Aku mulai mengunyah pelan dan lama. Memastikan tidak cukup limbah untuk memancing perhatian Jenny. Memutar balik memori sambil melacak: dosa apa aku hari ini.
Malam Minggu ini, perutku berjuang keras sekali.

Illustration by Achan @Siti_tottochan

***

Aku tidak benar-benar yakin apa aku bisa jadi aktivis piring bersih macam Jenny. Tapi aku tertampar hari ini dan oleh sebab itu aku tulis disini. Siapa tahu ada juga di antara kalian yang butuh ditampar.  Supaya lebih lengkap tamparannya, sila baca artikel asli dari Tirto disini.

Aku tidak pernah berfikir sejauh itu–atau mungkin tidak cukup peduli untuk benar-benar tergerak. Aku tahu itu salah tapi aku tidak selalu konsisten untuk makan dengan bijak. Aku menjadikan sakit sebagai alibi membuang-buang makanan. Hampir setiap hari. Nasi kotak katering kantor disusun paketan dengan porsi normal yang selalu kubuang separuhnya–atau hampir tiga per empat–dan itu sudah berlangsung selama berbulan-bulan. Mungkin lebih. Aku menyumbang lebih dari sekedar butiran nasi sebagai limbah. Tapi benar, masa ramadhan adalah masa paling tragis bagi akhir riwayat makanan-makanan sisa. Trafik konsumsi meningkat berkali lipat dari bulan biasa, berbanding lurus dengan peningkatan limbahnya. Ramadhan kita sungguh tidak sesuci katanya. Ini baru isu makanan. Belum dibahas perkara limbah plastik sekali pakai dari jutaan pelanggan takjil selama 30 hari berturut-turut. Plastik bungkus batagor, bungkus es buah, bungkus gorengan, cup kolak, mangkuk seblak, belum termasuk sendok dan sedotan plastiknya. Cukup 5-10 menit untuk menghabiskan makanan di plastik, padahal butuh 50-100 tahun untuk mengurai sampah plastik.
Kita sebenarnya tidak akan musnah oleh azab LGBT atau azab memilih Jokowi.
Kita adalah jelmaan kiamat bagi diri kita sendiri.

 

Beginilah Malam Mingguku berakhir: diantara  barisan kata-kata dan sakit perut sampai pagi.

***

4 thoughts on “Sebutir Nasi di Malam Minggu”

  1. Masuk tahun kedua nggak doyan nasi putih. Mulai muak dengan pertanyaan (pernyataan ding) yang nuduh diet. Juga merasa gagal atau entah apa, karena nggak bisa berbuat apa2 untuk persoalan nasi kotak. Aku sering kali mumet sama ulahku sendiri.

Leave a Reply to A. Kesuma Cancel reply