Kemarin lusa, saya mampir ke rumah kawan lama. Jelang magrib, ibuk—ibu teman saya—menawari teh atau susu hangat untuk buka puasa. Saya bilang saya mau air putih saja, sedang tidak berselera berbuka dengan yang manis—maunya sih berbuka dengan yang ganteng. Lalu ibuk menawari lagi “Kalau air tajin mau nyoba ndak ?” dan saya mengangguk cepat-cepat. Mungkin sudah belasan tahun saya tidak minum air tajin. Air tajin itu air rebusan beras. Sebelum tanak, mengering dan berubah jadi nasi, air rebusan beras biasanya memutih dan mengental, air ini yang diambil. Mamak saya biasanya hanya mengambil airnya, menambahkan gula pasir dan sedikit garam. Tapi si ibuk bukan hanya menyisihkan airnya saja, melainkan mengambil sedikit nasinya juga. Setelah ditambah gula—gulanya pakai gula jawa–jadinya semacam dawet nasi (?) hangat gitu lah. Cukup satu gelas kecil, kenyang sudah. Continue reading